Ilustrasi: Sekarang sudah punya anak sebesar ini, cucuku: Zein
Anno, Jakarta, 1985
Masa ini aku menjalani takdirku sebagai seorang janda dengan satu anak, yakni, putraku Haekal Siregar. Kami tinggal di sebuah rumah petak milik keluarga besar ulama pendiri pesantren Al-Ma'ruf, Cibubur.
Suatu
malam di musim hujan, pukul dua dinihari, tiba-tiba air masuk dari
lubang-lubang (baru kusadari keberadaannya) di tembok yang menghalangi kamar
dengan rumah sebelah. Aku tersentak karena anakku sudah terbangun lebih dulu,
kemudian mengguncang-guncang tanganku.
“Mama, kata
orang ada banjir,” bisiknya dengan sorot mata ingin tahu dan penasaran.
Samar-samar
memang kudengar suara gaduh di luar. Agaknya sungai kecil di belakang kompleks
perumahan sewa ini meluap. Aku meloncat dari dipan bertingkat, gegas kunaikkan
jagoan kecilku itu ke bagian atas, dan aku berpesan wanti-wanti kepadanya.
“Diam-diam
di sini, ya Nak, Cinta.”
“Mama mau
ke mana?”
“Mama mau
lihat keadaan sebenarnya.”
Tapi
akhirnya aku tak sempat lagi melihat-lihat, karena air bagaikan bah menerobos
masuk, dalam hitungan menit pun sudah melewati paha. Kuselamatkan barang-barang
kami yang tak seberapa. Sesungguhnya yang berharga hanya mesin ketik, baju,
sedikit makanan kering dan buku-buku.
“Mama,
itu si Mot Monyet! Duh, basah, kasihan!” seru Haekal menunjuk-nunjuk buku
favoritnya, serial Mot Monyet yang sudah mengambang di atas permukaan air.
Aku
memungut dan memberikannya sambil kubujuk bahwa buku favoritnya pasti bisa
diselamatkan. “Kita akan menjemurnya kalau hari sudah terang.”
“Iya, Ma,
terimakasih,” gumamnya seraya memandangi gambar Mot Monyet yang mendelong
kosong ke arahnya.
Aku
memalingkan wajah dan mulai berpikir keras untuk sebuah penyelamatan, tanpa
harus membekaskan luka dalam jiwanya. Sementara di luar hujan semakin deras,
air kian meluap memasuki rumah petak kami.
“Lahaola walla quwwata ila billahi aliyyul
adziiim…”
Maka
kusingsingkan lengan baju dan mulai berjibaku.
“Hujan datang,
hujan datang, banjirnya. Tuhan, jangan lama-lama hujannya. Jangan lama-lama
banjirnya, kasihani Mama, kasihani Ekal, kasihani kami, duaan!” celoteh anakku.
Sementara
aku berjibaku menyiuki air, membuangnya ke luar rumah, anakku terus
berseru-seru menyemangatiku. Kadang aku mendatanginya, mengingatkan agar tidak
berisik, kemudian kubuatkan perahu-perahu dari kertas. Dia mempermainkannya
dari atas ranjang tingkat dua itu dengan sapu lidi sebagai pengaitnya.
Dua jam
berlalu sudah, hujan masih turun bahkan semakin deras, dan air tetaplah
bergeming. Keringat, peluh, banjir dan airmata mulai mengaduk-aduk perasaanku.
Inilah saat-saat paling sengsara yang belum pernah kami alami.
Ketakutanku
sesungguhnya lebih disebabkan sebuah tanggung jawab yang harus kupikul, demi
menyelamatkan nyawa kami berdua. Aku harus jujur, sesungguhnya aku merasa takut
sekali tak sanggup menunaikan amanah yang telah diberikan Sang Pencipta di
pundakku ini; Anak!
Pikiranku
serasa buntu dan membeku. Lelah lahir, lelah batin, kupandangi wajah mungil yng
kini tampak kelelahn pula. Sepasang matanya balik menatap sayu ke arahku, tapi
mulutnya sudah berhenti mengoceh sejak beberapa saat berselang.
“Sudah ya
Ma, sini, kita doa saja,” ajaknya tiba-tiba.
Di
situlah, di atas ranjang besi bertingkat, pemberian Emak, kami mengisi waktu
menjelang subuh. Aku memeluk tubuh kecil sambil mulutku tak putus berzikir dan
berdoa. Seminggu hujan turun terus-menerus, air bagaikan dicurahkan dari
langit. Banjir di mana-mana, meluap di kawasan perkampungan belakang kompleks
perguruan Islam milik ulama besar itu. Berkali-kali air datang di malam hari,
kemudian surut menjelang siang.
Acapkali
kami berdua sama sekali tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah air masuk, atau
menyiukinya saat banjir datang. Paling kami hanya memandangi pemandangan ajaib
itu dari ranjang bertingkat selama berjam-jam, tak jarang harus menahan rasa
haus dan lapar hingga air surut kembali.
Suatu
petang yang terbebas dari hujan, saat kami sudah kehabisan bekal, tak ada makanan
kering, tak ada beras sebutir pun. Kocek pun kosong sama sekali!
“Mama, gak
punya uang lagi, ya?” usik anakku
Sepanjang
hari itu hanya kuberi semangkuk bubur pemberian tetangga, dan beberapa potong
kue basah.
“Iya,
Nak. Baru besok pagi kita bisa ke kantor redaksi mengambil honor,” sahutku
sambil berpikir keras, bagaimana mendapatkan makanan untuk mengganjal perutnya
malam ini.
“Kenapa
besok?”
“Ya,
naskahnya belum jadi nih.”
Tidak,
bukan itu alasannya. Aku tak punya ongkos!
“Oh,”
kesahnya mengambang di antara genangan air di bawah kami. Kutahu dia mulai
tersiksa dengan bunyi lagu keroncong yang setiap saat diperdengarkan oleh perut
kami.
Aku
kembali melanjutkan menulis cerita bersambung sambil menekan rasa bersalah yang
meruyak. Kulihat sepintas makhluk kecil itu mulai mencari-cari sesuatu untuk
melampiaskan pikiran dan perasaannya. Ya, kutahu persis demikian kebiasaannya!
Benar
saja, begitu dia berhasil menemukan buku Mot Monyet dan robot-robotan
Megaloman, maka dengan cekatan tangannya memainkan si robot.
“Alkisah
di zaman sekarang, si Mega lagi musim kebanjiran, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Bibirku
niscaya mengerimut menahan senyum.
“Emak si
Mega lagi sibuk kerja, bikin cerita biar bisa dijual, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Bibirku
niscaya kian bergetaran, menahan geli.
“Uangnya
nanti bakal beli makanan anaknya, jrek-jrek
jrek-jrek, nooong!”
Ah, anak
ini bisa saja kalau sudah menghibur ibunya, pikirku. Jari-jemariku semakin
sibuk ngebut menulis. Tinggal satu bab lagi dan akhirnya selesai sudah!
“Aduh, si
Mega sekarang lagi kelaparan, jrek-jrek
jrek jrek, duuuh, duuuh…”
“Soalnya
berhari-hari cuma makan bubur… jrek-jrek
jrek-jrek… mmm, mmm…”
Dadaku
mulai berdebar, tapi kutahankan untuk tidak terpengaruh. Jari-jemariku, pikiran
dan perasaanku masih berkutat pada ending
cerita tentang sebuah keluarga yang berbahagia. Semua novelku berakhir bahagia,
demikian kuputuskan pada masa-masa diriku sendiri sarat diterjang kesulitan.
Harus bahagia, karena hidup dan perikehidupan adalah harapan!
Ya Robb,
kuatkan anakku, jeritku mengawang langit.
“Adduuh…
Tuhan… Ekal kepingin makan. Tuhan, boleh tahu, di mana makanannya?”
Aku masih
melanjutkan menulis, tapi tak ada suara apapun lagi dari sebelahku. Kuhentikan
berjibaku dengan si Denok, kulirik dalang jejadianku tersayang yang telah membuat
ibunya merasa geli.
Ya Allah,
ada apa dengan anakku?
Anak itu,
buah hatiku tercinta, belahan jiwaku tampak menekuk kedua lututnya, memeluk
robotnya erat-erat, sedang buku Mot Monyet sudah terlepas dari tangannya,
mengambang di permukaan air yang menggenang di bawah kami. Astaghfirullah!
“Naaak! Cintaaa,
maafkan Mama, ya, maafkan Mama!” kuraih dan kupeluk tubuh mungil yang sudah tak
tahan rasa laparnya itu erat-erat.
Ada
gigilan yang aneh mengalir dari tubuhnya. Ya Tuhan, jangan, jangan biarkan anakku
sakit. Jangan saat-saat begini, jangaaan!
Benteng
pertahananku pun jebol sudah, air bening meluap dari sudut-sudut mataku. Seolah-olah
ingin menyaingi air banjir yang telah menggenangi tempat mukim kami selama
berhari-hari.
“Mari,
Nak, kita pergi dari sini!”
“Ke mana
kita, Ma?” lirihnya lemah saat kugendong dia dengan segala kekuatan yang masih
kumiliki. Tak peduli kusibak air sebatas lutut yang telah membuatku merasa
terhalang untuk mencari nafkah lebih keras lagi.
“Pssst,
diamlah, Sayang. Kita berdoa, kita akan cari makanan,” bisikku di telinganya.
“Siiip!”
serunya mengagetkan. “Turunkan Ekal, Ma, nanti limpa Mama sakit lagi,” pintanya
pula serius sekali.
Berjalan
kaki menembus tanah becek yang tiada terkira, kuperas otakku sedemikian rupa. Bagaimana
caranya mendapatkan makanan untuk anakku? Beranikah menggedor rumah adikku En
malam-malam begini? Dia yang telah mengusir kami dari rumahnya, hanya karena
terucap niatanku untuk rujuk dengan ayah anakku?
Tidak,
tidak bisa begitu! Harus kubuktikan bahwa aku mampu mandiri!
Nah, ada
warung nasi, tapi dari mana uangnya?
“Tunggu
dulu di sini sebentar, ya Nak,” kulepaskan genggaman tangannya beberapa meter
dari warung nasi itu.
Tanpa
banyak tanya, ini pengecualian, biasanya sangat cerewet, dia mengangguk, membiarkanku
berlalu. Maka, kulempar segala perasaan malu, kudatangi pemilik warung nasi.
“Ibu,
maaf, bisa minta tolong ya Bu?”
Perempuan
paro baya bertubuh subur itu memandangiku. Apakah dia masih mengenaliku? Ada
beberapa kali aku membeli makanan ke sini.
“Ya, ada
apa?” tanyanya, menatapku keheranan.
“Saya
butuh makanan, sebungkus nasi rames, ya Bu. Tapi bayarnya besok, ya Bu, boleh?”
“Oh?”
Tidak,
kutekan terus rasa malu itu, mumpung tak ada siapapun selain Ibu Warung.
“Ibu kan
kenal saya yang nyewa di rumah Ustad Fahri. Nah, ini, kalau tidak percaya… mmm,
saya jaminkan KTP ini, ya Bu.”
“Oalaaa…
Neng, Neng, yo wis, pake
jamin-jaminan KTP segala,” tukasnya sambil tersenyum ramah.
“Tapi, saya
memang lagi…” Kutelan airmata yang seketika terasa asin, dan berjejalan hendak
tumpah berderai dari sudut-sudut mataku.
“Monggo, mau apa saja. Jangan
sungkan-sungkan, Neng.”
Begitu
sayang Gusti Allah kepada kami, kataku dalam hati. Maka, kujinjing dua bungkus
nasi rames lengkap dengan lauknya; ayam goreng dan perkedel.
“Makanannya
dapat, ya Ma?” sambut anakku sambil menatap kantong kresek di tanganku
lekat-lekat.
Aku
mengangguk dengan mata membasah.
“Horeee!
Asyiiik!” serunya berjingkrak kegirangan.
“Pssst,
Alhamdulillah,” kataku mengingatkannya, kuajak dia menengadahkan kedua tangan
ke atas. Langit bening, kini tanpa aling-aling. Kurasa besok mulai cerah. Bumi
dan langit menjadi saksi, bagaimana ibu dan anak ini, malam ini begitu
bersyukur.
Tuhan
tidak pernah meninggalkan kami, aku yakinkan itu.
Kami
bergandengan tangan kembali ke rumah petak, masih terendam oleh air sungai yang
meluap ke mana-mana.
Malam
itulah aku memutuskan untuk menyerahkan kembali anakku kepada bapaknya,
termasuk diriku. Meskipun harus menanggung nestapa selama puluhan tahun
kemudian, disebabkan kecurigaan membuta, paranoid yang sudah berurat dan
berakar dalam jiwanya.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar