Rabu, 09 Februari 2011

Inilah Cerpen Butet Ketika SMA Kelas 1 (14 Tahun)



 Sang Pewaris
Adzimattinur Siregar


Lelaki itu berlumur nista!
Dia berada di sekitar bundaran pasar. Ia berkulit hitam. Namun, hitam kulitnya pun sanggup dikalahkan oleh hitam dosa yang melumuri hati dan pikirannya. Aku yakinkan itu. Sosoknya sungguh iblis berwujud manusia, Saudara!
Aku bisa melihat tanduknya sejelas mataku memandang kemiskinan di sekitar kami. Matanya yang selalu merah, aku yakin di dalamnya berjejalan pemandangan neraka.
Kini ia bergerak mendekatiku. Wajah garangnya jelas memperlihatkan kemarahan,  tapi aku hanya menyambutnya dengan senyuman datar.
“Mana makanannya?” bentaknya tepat di depan hidungku.
Aku tidak mengerti itu pertanyaan atau pernyataan. Jadi aku hanya diam, menatap lurus ke depan dengan rasa lapar yang semakin sering melilit-lilit hebat di perutku.
“Jawab!”
Plaak! Guncangan rasa sakit menerpa kepalaku sesaat, dan puntung di tanganku pun loncat. Aku bergeming, hanya menatapnya dari tempat dudukku dengan mata menyipit.
“Makanan dari mana? Kita tak punya duit lagi buat beli beras. Ludes dipake judi!” cetusku pedas. Plaak! Lagi, pipiku memanas.
“Berani-beraninya ngomong seperti itu kepada orang tua! Dasar anak durhaka!”  
Aku dapat merasakan cipratan ludahnya di wajahku. Menjijikkan! Membuatku ingin cepat-cepat pergi dan mencuci wajahku bersih-bersih.
“Sudahlah, Pak. Saya akan ke warung, cari utangan.” Suara ibuku terdengar pasrah dari dalam rumah.
“Memang sudah seharusnya itu! Jadi istri saja tidak becus!” dengusnya geram.
Lelaki iblis itu membanting pintu dan bergegas ke dalam rumah. Aku menyipitkan mata semakin muak dan jijik. Ibuku tidak bertanggung jawab? Kalau ibuku tidak bekerja membanting tulang sebagai pembantu di perumahan depan sana, kami niscaya sudah jadi gembel. Aku menggeleng tidak mengerti bagaimana ibuku dapat bertahan dalam keadaan seperti ini. Betapa sering aku melihat perempuan malang itu bercucuran air mata, pipi-pipinya membiru legam, bahkan tiga gigi depannya sudah lama berloncatan. Semua akibat kekejian lelaki itu, terutama saat-saat dia kalah berjudi.
“Mengapa Ibu tetap bertahan jadi istri lelaki kejam itu?” tanyaku suatu hari.
“Ibu cinta bapakmu, Nak,” jawabnya sambil tertunduk.
Persetan dengan cinta. Tak ada cinta di mata lelaki setan itu kala ia menghajar perut ibuku. Tak ada cinta di hatinya ketika dengan tega ia melemparkan piring, gelas dan barang pecah belah lainnya ke kepala ibuku. Cuma orang tolol yang rela disakiti karena cinta.
Suatu kali saat ibuku tak ada di rumah. Lelaki itu menghampiriku yang sedang asyik merancang khayal, bagaimana menjadi seorang Cinderella.
“Sini kau, ikut aku!” Lelaki itu menyeretku ke suatu tempat yang kukenal sebagai lapak judi. Tempatnya biasa menghabiskan uang yang diperoleh ibuku dengan cucuran keringat dan air matanya.
“Hei, Togar! Masih berani pula kau datang? Sudah kalah telak kemarin kau!” Seorang preman pasar mendorong bahu lelaki bertanduk iblis itu.
Aku mengernyit, kulihat tumpukan daster dan kain batik milik ibuku ada di atas lapak yang dikelilingi empat orang lelaki.
“Kau tidak punya apa-apa lagi! Bahkan baju-baju bini kau pun dijadikan taruhan! Hahaha!” Seseorang tertawa di pojok ruangan. Lelaki itu menatap mataku seakan meminta maaf. Aku memalingkan wajah mual. Firasat ini, huuuh!
“Masih ada anak ini! Satu juta sajalah!” dengusnya tanpa sembala.
Aku tercengang menatap lelaki itu. apakah dia bercanda? Anaknya sendiri hendak dijual?”
“Lima ratus ribu!” teriak lelaki bertampang sangar itu sambil terkekeh.
“Kecil-kecil begini masih perawan dia! Tujuh ratus limapuluh ribu sajalah.”
         Untuk sesaat lelaki itu menatapku dari atas sampai bawah. Menelanjangiku dengan matanya yang jelalatan. Aku dapat melihat kilatan nafsu di sana.
           “Baiklah! Cepatlah kau main! Tak sabar lagi kepingin kucoba juga dia!”
           Aku tertegun diam. Terlalu terkejut  untuk berontak. Tujuh ratus lima puluh ribu. Hargaku hanya tujuh ratus lima puluh ribu rupiah? Ini pasti mimpi. Lelaki itu pasti cuma bercanda. Ya, Tuhan! Katakan ini cuma mimpi!
Aku tenggelam dalam lautan aneh tak teperi. Hingga sebuah teriakan puas membahana, menarikku kembali ke dalam realita. Dalam sepersekian detik, aku berharap. Dan sepersekian detik berikutnya, aku terjatuh bahkan terpuruk. Ketika kulihat kepala lelaki pengecut itu menunduk, terkulai pasrah layaknya pecundang.
Aku berontak. Sibuk menggoreskan cakarku ke lengan lelaki yang kini merasa memiliki diriku. Aku terus menggigitnya, meludahinya dan kulakukan semuanya diiringi kristal-kristal yang terus bergulir dari mataku. Tetes demi tetesnya jatuh dan aku bersumpah; takkan tenang hidupku hingga napas lelaki iblis itu terputus!
“Anak setan! Aku cuma mau pakai kau sekali saja, bah!” bentaknya sambil terus menarikku untuk masuk ke sebuah motel murahan.
“Tolong! Tolong!” Aku berteriak sesaat sebelum dia membekap mulutku dengan tinjunya.
“Diam!” sergahnya sengit.
“Kelihatannya dia tak mau diajak masuk, Bos!” tiba-tiba sesosok pria tinggi menghadang jalanku. Dari balik air mata, aku dapat melihat jas rapinya yang kontras dengan suasana motel murahan itu.
“Jangan ikut campur! Bapaknya sendiri sudah menjualnya!” lelaki jahanam itu mendorong bahu pria berjas agar menjauh.
“Memangnya harganya berapa?” tanyanya ramah.
Lelaki itu diam sejenak sebelum kemudian mendengus, “Kenapa? Kau mau beli anak kampungan ini?”
“Kalau harganya sesuai.”
“Sepuluh juta bagaimana?”
Aku melihat kilatan kaget di mata pria berjas itu. mungkin aku terlalu mahal untuknya? Oh, tidak! Dia menyodorkan segepok lembaran ratusan ribu dari balik jasnya. Kulihat mata lelaki itu berkilat hijau.
“Ambil nih anak kecil!”
Pria berjas itu berusia 30-an, demikian taksiranku. Dengan hidung lancip dan mata yang tajam, pria ini sebenarnya sangat indah. Dia kemudian memboyongku ke suatu tempat yang dikatakannya sebagai kamar nirwana. Suasananya sungguh nyaman. Seumur hidupku, sampai lima belas begini, inilah untuk pertama kalinya aku menginjak sebuah hotel bebrintang.
“Jadi, kamu dijual oleh bapakmu sendiri?” tanyanya sambil menyodorkan segelas air ke arahku.
“Iya, sebagai pembayar taruhan,” sahutku membenarkan.
Pria itu tertawa sambil menggeleng, membuat sepasang matanya terlihat kian berkilau dan bercahaya. Kurasa api yang ada di perapian membuat bayangannya terlihat memesona.
“Dunia ini gila!” katanya di sela-sela tawa.
Aku hanya diam dan terpana. Betapa indahnya pria ini, takkan kulihat lagi yang seperti ini, pikirku.
“Ada apa?” Dia bertanya saat melihat mulutku yang terbuka sambil memandanginya.
“Ah, tidak apa-apa!” gumamku tertunduk tersipu. “Aku mau tahu kenapa kamu beli aku?” tanyaku terburu-buru menutup rasa malu.
Aku bisa merasakan pria itu tersenyum ke arahku. Perlahan, ia mengangkat wajahku. Samar-samar, tercium wangi parfum dari balik jasnya saat ia menyentuh pipiku.
“Karena kamu cantik,” sahutnya.
Untuk sedetik aku terkesima. Betapa sempurnanya ciptaan-Nya ini. Namun sedetik kemudian aku tersadar saat ia mulai menyentuh tubuhku yang lain.
“Jangan!” pekikku takut.
Dia menghujamkan senyum mautnya ke arahku sambil berbisik perlahan, “Kenapa? Kamu kan sudah aku beli.”
Aku menutup mataku rapat-rapat. Antara benci, muak dan jijik. Lelaki. Semuanya iblis bertanduk, sama seperti bapakku.
Prang! Gelas yang kupegang terjatuh dan pecah tak jauh dariku. Hancur. Berantakan. Dan itulah aku sekarang.
“Dari mana aja, Nak? Sejak semalam Ibu cari-cari kamu,” berkata ibuku yang bergegas mau pergi kerja lagi. Ibuku biasa menyelang dulu pulang untuk memasak. Ia berhenti tepat di depanku.
“Ada apa? Kenapa pucat begini? Sakit ya?” tanyanya bertubi-tubi. Aku melangkah mundur. Menjauh, merasa tidak pantas berada di dekatnya.
“Mana dia?” hanya itu yang diucapkan oleh bibirku yang kering. Aku bahkan tidak berani menatap wajahnya. Ibuku diam. Aku sadar ada memar baru di wajah perempuan malang itu.
“Gaji ibu diambil lagi?” tanyaku pula. Ibu hanya mengangguk perlahan. Aku menggeleng marah. Ini harus dihentikan!
Aku berlari ke arah pasar. Ibuku berusaha mengejarku. “Jangan, Tet! Jangan berurusan dengan bapakmu!” tangisnya tumpah dan tangannya menarikku. Aku memandangi wajah tirus pucatnya yang selalu terlihat lelah.
“Dengar, Ibu. Aku janji, hidup kita akan lebih baik mulai sekarang! Aku janji, setan itu akan pergi!” Aku melepaskan tangan ibuku dan bergerak terus.
Ya, lelaki itu di sana. Di tempat dan di saat yang salah. Aku mendekatinya perlahan. Memasukkan sesuatu ke dalam celananya diam-diam, dan secepatnya menjauh. Inilah  saatnya. Aku menarik napas panjang.
“Maling! Ada Maling!” teriakku histeris sambil menunjuk-nunjuk lelaki bertanduk iblis itu.
Orang-orang serentak menghambur ke arahnya, kemudian menghajarnya ramai-ramai. Aku menatapnya dari kejauhan. Ratapan memohon ampunnya terdengar sangat merdu di telingaku. Entah mengapa aku bisa menikmatnya. Kubiarkan semuanya tengelam ke dalam diriku, pikiranku, sebagaimana selama ini lelaki itu menenggelamkanku dan ibuku ke lautan derita.
Dari arah berseberangan seseorang membawa obor dan dirigen minyak tanah sambil berteriak, “Bakar saja maling sialan ini!”
Aku seperti dapat merasakan tubuh lelaki itu gemetar ketakutan. Dan saat matanya bersirobok dengan mataku, ia menudingku dan berteriak histeris.
“Butet! Tolong Bapak! Aku bukan maling, oh, itu anakku!”
Untuk sesaat semua mata memandangku menunggu jawabanku. Aku teringat kembali akan kenangan masa kecil. Kala dia menggendongku di atas bahunya sambil bernyanyi-nyanyi. Kala ia mendongengiku sebelum tidur di bawah cempor. Dan senyum bangganya ketika aku bercerita tentang sekolah pertamaku. Semuanya hanya bisa terjadi sebelum setan judi mengangakangi seluruh jiwa raganya!
“Benar ini bapak kamu?” tanya seseorang.
Aku tersenyum samar dan kulihat ayahku membalas dengan helaan napas lega.
“Bukan, “ ujarku sambil menggeleng dan berbalik.
Kubiarkan semuanya berlangsung, dan aku hanya mengawasi dari kejauhan. Ya, lelaki iblis itu sudah tenggelam dalam api dan dosanya sendiri. Perlahan senyum di bibirku kian mengembang. Ah, pemandangan yang sangat kunantikan. Untuk sesaat aku tersadar, tanduk iblisnya menghilang seiring dengan desahan napasnya yang terakhir.
Seketika bulu romaku meremang hebat, dan tubuhku mengejang kaku. Tanduknya kini ia wariskan kepadaku.  (Revisi Kampus Perjuangan, 2011)

@@@