Anita Sri Rahayu
Hari biasa, Hong Kong;
“Assalamu’alaikum… Mbak A ya? Ketua organisasi ABC? Maaf
mengganggu, saya Anita Reporter DDHK News, mau bikin laporan kegiatan
organisasi ABC, boleh Mbak? Baik, terima kasih Mbak ya, waktu dan informasinya.”
Itulah deretan pertanyaan yang sering aku ajukan pada narasumber
via telepon. Bukan di kantor, tapi di jalan arah pulang dari pasar.
Terseok-seok, mengejar bus, dan menahan beratnya tas belanjaan berwarna kuning
cerah.
Untung tidak ada yang tahu, kalau aku wawancarai mereka dengan
penampilan khas “kungyan” ini. Meskipun sering dipandang aneh oleh rekan
sejawat, saat di bus, kenapa cara bicaraku formal. Jelas. Kan harus sopan sama
narasumber berita?
Ah, terserah pandangan orang. Yang penting niatku itu baik. Bukan
salah mereka, karena tidak tahu aku reporter juga, bukan? Kecuali jika libur,
aku biasa kalungkan kartu pers di leher. Tapi tidak saat ke pasar, oh, apa kata
dunia?
Tugas harianku, jika waktu anak yang aku asuh sekolah, selalu ke
rumah nenek di daerah Sui Wo Yuen, tetap memanfaat kan waktu senggang untuk
menulis berita kegiatan BMI Hong Kong.
Tapi hari itu, sang narasumber sibuk mungkin, hingga tidak
mengangkat teleponku saat masih di bus. Dia menghubungiku tepat ketika aku tiba
di depan rumah nenek.
”Assalamu’aliakuuuum!” ujarku dengan lantang, pintu terbuka.
Ops! Kupandang wajah nenek dengan matanya yang menyorotku
terheran-heran.
”Cosan, Popo,” sapaku, wajahku pastinya tak kalah bingung, harus
menyapa yang di line telepon atau nenek.
“Aduh, Mbak Nita, masa saya dipanggil Popo?” ujar sang
narasumber.
Nah, kan jadi ketuker! Nenek bingung, aku bingung, narasumber
juga lebih bingung!
Ustadz bilang, “Kita harus selalu melakukan hal yang bermanfaat
bagi orang lain.” Sama dengan niatanku saat bergabung menjadi reporter. Saat
kita menulis hal yang baik dan berguna, maka itu akan menjadi amal baik bagi
kita.
“Kelak saat mulut tak bisa lagi bicara, di depan pengadilan
Tuhan, pena biru dan buku kecil, kamera dan komputermu yang layarnya sudah
pecah ini akan memeberikan kesaksian membela dirimu,” gumamku sendiri.
Hal itu pula yang selalu memberikan energi tersendiri, saat
kawan masih tertidur pulas, melakukan hal menyenangkan lainnya, aku sudah
berada di lokasi kegiatan teman BMI untuk meliput.
Dari kacamata manusia mungkin itu tindakan yang sia-sia, apalagi
kadang mentalku jeblok. Bayangkan
saja, sudah berkorban istirahat, berusaha profesional, membagi waktu
kerja dan meliput, tapi hasilnya kadang dikomplen orang.
Sedih sekali rasanya, tapi rasa sedih itu tergantikan saat aku
tahu, Tuhan selalu punya buku catatan bagi setiap tindakan. Jika ingin terlihat
baik di mata orang itu akan capek, tapi baik di mata Tuhan, cukup berusaha
semaksimal mungkin. Cukup Allah saja pelindungku dan yang akan memberikan
imbalan sebaik-baiknya.
Hari itu ada pengajian di daerah Sheung Wan, sangat jauh dari
tempatku kerja. Baru ada dua orang relawan reporter waktu itu, aku dan Tati.
Menyusul Mbak Lutfiana dan Rima.
Tugasku meliput di pengajian Tsim Sha Tsui yang letaknya jauh di
daratan Kowloon-side. Kerangka laporan sudah aku buat, sehingga saat tiba di
lokasi tinggal dokumentasi foto dan wawancara.
Sebetulnya aku lebih senang jika bisa menyimak materi dari
penceramah, tapi karena butuh waktu menuju tempat berikutnya, aku harus bisa
membagi waktu. Akhirnya, hanya bisa mendapat keterangan dari ketua panitia,
karena hingga Zuhur tiba, tausiyah inti belum juga dimulai, aku pamit menju Tsim
Sha Tsui.
Bahan laporanku cantik walau bingung dengan isi berita nantinya
apa, tapi aku pegang prinsip reportase, yaitu harus jujur.
Aku tidur dengan Heyan, dan peraturan si bos tidak bisa ditawar,
jika waktu tidur sudah tiba harus matikan lampu. Aku sadar tugasku untuk menjaga
Heyan lebih utama ketimbang tugas edit berita, tapi inilah yang terjadi: “Maju tak gentar meski
tak dibayar.”
Aku tetap mematuhi peraturan bosku. Siang hari susah punya waktu
banyak, edit berita butuh konsentrasi, terpaku pada hasil reportase.
Di kamar penuh boneka milik Heyan, aku duduk di kasur lipat
tepat di bawah ranjang anak kecil itu.
“Cece, kenapa kamu belum tidur? Nanti papa marah, ayo tidur!”
ajaknya .
“Kamu tidur dulu ya, Cece ada kungfo, pe-er, kalau tidak
dikerjakan nanti guru Cece marah.”
Padahal editorku tidak pernah marah, aku bohong nih ceritanya, sambil
menyalakan laptop yang layarnya pecah dan kini mulai bergaris hitam.
Heyan sudah terbuai dengan mimpinya, sementara aku sibuk
menulis, menyalin rangkuman dari buku kecilku. Susunan kerangka laporan aku
kembangkan jadi berita sempurna, dengan cahaya sinar laptop saja.
Halangan bukan alasan untuk tidak melakukan hal bagi orang lain,
walau itu baru bisa aku lakukan dalam skala kecil saat ini. Ah, pahit memang mataku
perih menahan cucuran air mata. Seakan terbangun dari mimpi-mimpi, di mana aku?
Apa yang sedang aku lakukan? Adakah itu bernilai di mata Tuhan? Aku
hapus air mataku sebelum mengaliri pipi, cukup hatiku saja yang basah. Namun, jemariku
tetap bergerak menulis garis-garis kemurahan Tuhan dalam segala keterbatasanku.
Di alinea terakhir laporan aku tulis: Acara berlanjut dengan salat Zuhur berjamaah,
lalu masuk ke sesi kedua, yaitu acara inti taklim dan zikir yang disampaikan
oleh KH Mustofa.
“Mbak ini yang suka jemput anak di Sui Wo Yuen, kan? Wartawan
toh?” ujar panitia sebuah organisasi di Sha Tin.
Pertanyaan itu ia lontarkan penuh rasa heran, setelah aku bisa
“pede” berbincang dengan Ustad yang akan mengisi acara. Bukan “pede” tanpa
sebab, semata hanya menjalankan tugasku.
“Iya, ini judulnya, kalau Minggu saya Reporter Mbak, tapi hari
biasa saya ini kungyan,” jawabku penuh canda.
Bukan tidak profesional, tapi karena keterbatasan waktu saja.
Semoga jika jadi jurnalis sungguhan, pengalaman ini jadi bekal tersendiri
bagiku, saat sulit yang penuh makna.
Tetap saja, untuk saat ini aku adalah BMI, tapi aku aku merasa banyak
ilmu kehidupan yang bisa aku dapat, dan tak bisa didapat dari universitas mana
pun.
Toleransi, kepekaan sosial, akhlak, tahan ujian, dan bercermin
diri dari rasa mengeluh menjadi syukur pada kehendak Tuhan. Semoga lulusan
kampus juga memiliki hal yang sama, sehingga bisa melahirkan aktivis dan
petinggi negara yang berahlak mulia, bukan modal gelar semata. (Anita Sri
Rahayu/ddhongkong.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar