Anno, 1984
Hari demi hari kulakoni takdirku berdua anakku semata wayang, sebagai seorang ibu, seorang janda, seorang penulis, single parent… Telah banyak air mata tertumpah, maka tak ingin lagi kubuang waktu percuma!
Berdua anakku, aku akan mengetuk satu demi satu kantor redaksi, menjajakan karya-karyaku berupa; cerpen, artikel, cerita bersambung dan novelet. Minimal dua kali dalam sebulan, aku melakukan aktivitas serupa itu. Melahirkan karya-karyaku di pavilyun, kemudian menjajakannya ke berbagai media di Bandung dan Jakarta.
Suatu kali telah kupersiapkan keberangkatan ke Jakarta untuk mengantar naskah, sekalian mengambil honor di beberapa kantor redaksi. Saat ini anakku berumur dua setengah tahun, sudah kumasukkan ke sebuah playgroup. Dia mulai bisa membaca meski terbata-bata, menghapal lusinan lagu, dan beberapa surah pendek serta doa singkat.
Di TK Yakap Jaya, Haekal mengembangkan kecerdasan dan kemandiriannya lebih menonjol jika dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Dia bahkan melampaui tingkat kecerdasan anak-anak yang lebih tua dua-tiga tahun. Terbukti dari wawasan pengetahuan yang dimilikinya jauh di atas rata-rata dengan IQ 131.
Dia mudah sekali menghafal berbagai cerita yang pernah kukisahkan setiap malam. Kemudian dia akan menceritakannya kembali dengan bahasanya sendiri, ditambah rekaannya pula. Dia bisa menjawab dengan cepat perkalian 2, 5, 10 dan perkalian angka yang sama umpamanya; 25 X 25, 35 X 35, 45 X 45, 55 X 55 dsbnya.
Dia juga hafal sebagian besar cerita pewayangan, Asterix, Deni Manusia Ikan dan mitologi Yunani.
“Bagaimana Teteh, jadi berangkat sekarang?” bertanya adikku Ed yang selalu perhatian.
“Kelihatannya dia demam…”
Dia memandangi wajah anakku yang memang tampak memias.
Sejak sore memang demamnya tidak turun-turun, meskipun aku telah memberinya obat penurun panas. Aku mengangkat tubuhnya yang telah kubalut baju hangat, kaus kaki tebal dan penutup kepala.
“Yaaah… maunya sih kutinggal, tapi malah nanti merepotkan kalian,” kesahku, mengingat di rumah hanya ada empat adik dan seorang nenek.
Kedua orang tuaku tinggal di rumah adikku En di Cibubur. Sebab bapak masih dinas di Kodam Jaya.
Kutahu bapak sedang mengalami kesulitan keuangan, seorang adik kuliah, dua di SMA, dua lagi di SMP. Kutahu pula En telah banyak membantu, bahkan berkorban demi keluarga.
Maka, sedapat mungkin aku jangan pula ikut menambah beban orang tua.
“Ayo sini, dijampe dulu sama Um Ed, ya,” hibur adikku sambil menggendong si kecil.
Kubiarkan dia menenangkan anakku, sekaligus membantuku menyiapkan susunya.
Adikku Ed seorang aktivis Rohis, pengurus remaja masjid Agung dan mushola di belakang rumah kami.Setelah sholat tahajud, aku pun minta diantar Ed ke jalan raya Tagog untuk mencegat bis ke Jakarta. Ed membawakan keranjang berisi bundelan naskah, yang berbaur dengan baju salin dan susu anakku.
Kugendong dan kupeluk erat-erat anakku sambil membisikkan semangat di telinganya.“Kita akan ke Jakarta, Nak. Sehat, ya Nak sayang, jangan keterusan sakit. Kita akan mencari nafkah untuk makan besok, lusa, lusa, lusa dan lusanya lagi… Pokoknya kita harus semangaaaat!”
Niscaya tiupan semangatku kali ini kacau-balau!
Kulihat wajah anakku menjadi tenang setelah kuminumi sebotol susu. Sesungguhnya hatiku kebat-kebit, diliputi kebimbangan dan was-was. Persediaan susunya tinggal sedikit, hanya untuk satu kali minum lagi. Demikian pula aku tak memiliki obat lagi untuk menurunkan demamnya.
Kondisi keuanganku sungguh pailit, bahkan untuk ongkos pun aku terpaksa harus meminjamnya dari nenekku. Simpananku terkuras untuk pengobatanku beberapa bulan sebelumnya. Akibat terlambat ditransfusi kondisiku menjadi parah, malah terjadi komplikasi. Karena tak ada Askes lagi, maka aku harus menanggung seluruh biaya pengobatan secara mandiri.
“Baiklah, kita berangkat sekarang… lahaola wala quwwatta ila billahi aliyyul adzim,” gumamku saat kami meninggalkan rumah.
Kuredam segala keresahan, kusingkirkan semua kekhawatiran itu jauh-jauh. Tak mungkin kuurungkan lagi, mustahil pula menanti terus bantuan dari orang tua.Tidak, memang harus mencarinya sendiri!
“Nah, itu bisnya, Teteh, hati-hati ya… Jangan lupa banyak zikir dan berdoa,” pesan adikku Ed, menghentikan bis dan menyerahkan keranjang bawaanku kepada kernet.
“Iya, jaga adik-adik dan Emih,” sahutku. Emih adalah nenek kami dari pihak bapak.
Pukul dua dinihari, sekilas kucermati di dalam bis itu hanya diriku yang berjenis kelamin perempuan. Selebihnya kaum laki-laki, sebagian besar tengah menghisap rokoknya dengan nikmat. Dalam sekejap saja anakku langsung terbatuk-batuk hebat!
Aku segera disibukkan dalam upaya menenangkan anakku, bahkan sebelum sempurna posisi duduk kami. Aku memberinya minum, menggosok dada dan punggungnya dengan minyak kayu putih.
“Mama, apa… Etan bakal mati abak ebek, kayak bapak Etan, ya Ma?” ujar anakku tiba-tiba sesaat batuknya berhenti.
Untuk beberapa jenak mulutku bagaikan mengejang, lidahku mendadak kelu.
Di bawah cahaya lampu jalanan yang menyelinap melalui jendela, dan jatuh ke wajah anakku dalam pangkuanku di bangku barisan belakang. Aku pandangi lekat-lekat wajah mungil yang telah menjadi korban egoisme dan kezaliman bapaknya itu.
Selama perpisahan tak sepeser pun yang pernah dikirimkan bapaknya kepada anak ini. Luar biasa!
“Tidak, aku tidak melihat pertanda kematian, tidaaaak!” jeritku dalam hati dan otak yang nyaris mendadak gila.
“Mama… jangan nangis, Etan gak mau nanya apa-apa lagi. Etan janji, Mama, sudah ya…. Ceppp, ceeep,” suara kecil itu di telingaku bagaikan sayatan sembilu, memedihkan kalbu.
Tanganku refleks menghapus butiran bening yang sempat membuncah deras tanpa kusadari. Kurasai pula jari-jemari halus ikut merayapi pipi-pipiku, menghapus segala resah, seluruh dukalara yang menyungkup hati.
“Dengarlah, Nak, Cinta,” bisikku selang kemudian di telinganya. “Mama pastikan, kita akan baik-baik saja dalam perjalanan ini… Tuhan beserta para malaikat-Nya akan memelihara kita, insya Allah!”
Anakku tersenyum senang, walaupun suhu badannya masih panas. Namun, kutahu dia kemudian tertidur lelap dalam pelukanku. Mujurlah, kami mendapatkan bangku kosong di sebelah, jadi aku bisa membaringkan anakku dengan leluasa.
Pukul tujuh pagi kami tiba di terminal Cililitan, kuperiksa keadaan anakku masih tetap seperti saat kami berangkat. Demamnya malah semakin tinggi, aura panas begitu menyengat dari sekujur tubuhnya. Dan dia mulai terdiam, segala keriangan, semua kecerewetannya yang senantiasa menjadi pengobar semangat hidupku itu.
Duh, kemanakah gerangan ceriamu, Anakku, jangan diam saja, jeritku membatin sambil menahan tangis.
“Minum, haus, minum, Ma…,” rengeknya tiba-tiba, membuyarkan semesta kepedihan yang melingkupi kisi-kisi hatiku.
“Baik, ini minumlah yang banyak, ya Nak…,” kuberikan botol susunya, hanya sekali minum lagi.
Dia meminumnya sampai tandas, jantungku serasa berdebur kencang. Uang yang ada di tangan tinggal untuk minum air putih dan sekali ongkos ke kantor redaksi Selecta.
“Habis Ma…. Etan gak mau minum lagi. Nanti Mama nangis, susah deh…. Etan mau bobo aja, ya Ma…,” ceracaunya, mungkin mengigau tapi masih mencemaskan ibunya.
Aku menggendongnya erat-erat sambil menenteng keranjang berisi naskah. Biasanya anakku tak mau digendong sebab dia tahu bahwa ibunya penyakitan, dan limpanya membengkak.
Menyadari ketakberdayaannya dan kepapaan diriku, ada ketakutan yang meruyak batinku.
Ah, jangan pernah menyerah!
Maka kunaiki sebuah mikrolet jurusan Senen, dari situ aku akan mencari kendaraan jurusan Tanah Abang, ke kantor redaksi Selecta Group tujuan utamaku.
Sesungguhnya membawa anakku dalam keadaan sakit bukan yang pertama kalinya. Setahun sebelumnya pun kugendong-gendong dia dalam kondisi muntaber. Sempat kejang-kejang, metromininya dibakar massa.
“Saat itu juga kita berhasil selamat kan, Nak,” gumamku di telinganya. “Sekarang pun kita harus selamat. Sabar, ya Nak, sebentar lagi kita akan sampai di kantor sahabat-sahabat Mama.”
Rasa terbakar kemudian meruap dari sekujur tubuh anakku, tatkala kami turun di sebuah halte kawasan Senen. Sempoyongan kugendong anakku menuju warung. Kuminta obat penurun panas, tapi pemilik warung bilang tidak ada. Beberapa jenak otakku berusaha keras untuk mengambil tindakan penjagaan demi keselamatan anakku.
Maka kukitarkan pandanganku ke sekeliling kami. Di mana ini? Tiba-tiba aku baru menyadari keberadaan kami. Oh, Tuhan, bukankah ini di halte seberang kantor ayah anakku? Ya, itulah Departemen tempatnya bekerja!
“Bu, Ibu…. Maaf, ganggu sebentar, bisakah saya minta tolong?” tanyaku agak panik kepada seorang ibu berseragam, mengingatkanku akan seragam ayah anakku.
Ibu paro baya itu berhenti dan memandangiku, kemudian dia melirik anak yang kugendong dengan mimik terganggu.
“Ada apa? Kamu siapa?” tanyanya ketus.
“Mmm, begini Bu…, Ayah anak saya ini pegawai di Departemen yang sama dengan Ibu, saya yakin begitu. Bisakah Ibu bantu saya….”
Tiba-tiba aku tak tahu mau minta bantuan apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh lelaki itu? Lelaki yang selalu menghina, mengasari, melecehkan kehormatan diriku selama menjadi istrinya? Tahu-tahu dia sendiri bermain-main dengan berbagai perempuan nakal saat istrinya sakit, dan sama sekali tidak perlu mengakui itu sebagai suatu kekhilafan? Bahkan ditudingnya diriku sebagai penyebab tindakan zalimnya itu?
“Cepetaaan… mau ngapain sama suami kamu itu?” tanyanya pula semakin ketus dan tidak sabaran.
“Eee, dia bukan suami saya…, mantan…, tapi jelas dia ayah anak ini,” sahutku tergagap dan kian panik demi menyadari anakku seperti tak berkutik lagi?
Ada seleret senyum sinis di bibir perempuan itu. “Aha, bilang dari tadi kalau kamu cuma jandanya!”
“Iyyaa… sebetulnya…”
Kutelan segala luka yang menghunjam dada.
“Demi anakku…. Demi Tuhan, apapun rela kulakukan!” pikirku sambil menggemeretakkan gerahamku.
Aku pun tergesa-gesa mencari secarik kertas di antara bundelan naskah, kemudian kutuliskan pesanku. Intinya meminta keikhlasan lelaki itu agar datang ke halte, ikut membantu kesulitan yang tengah kuhadapi.
Kuserahkan kertas agak kumal itu kepada rekan kerja ayah anakku, kuyakin demikian.
“Ya sudah, tunggu saja di sini! Gak janji bisa bantu loh…”
Seharusnya kumaknai kalimatnya itu sebagai suatu penolakan. Namun, entah mengapa otakku mendadak buntu, maka bagaikan orang dungu kunantikan bantuan itu tiba sambil memeluk erat-erat tubuh anakku.
“Minum…. Etan mau minum lagi, Ma…,” ringik anakku berulang kali.
Aku pun berkali-kali bangkit, meninggalkannya sejenak, membelikannya air putih.
Menyadari betapa bolak-baliknya diriku membelikan minuman, pemilik warung itu tergerak hatinya. Dihampirinya kami sambil membawakan seteko air putih, dan sebuah cangkir plastik.
“Kenapa? Anaknya sakit, ya Neng?” tanyanya dengan kesungguhan dan penuh perhatian.
“Eee…, iya Bang, demam….” Kurasai benteng pertahanan di sudut-sudut mata ini nyaris jebol.
“Demam begini memang kudu banyak minum, Neng. Ya sudah, jangan dibayar, minum saja sepuasnya, Neng…. Nih, kalau kurang bilang aja lagi, ya Neng. Moga-moga cepet baekan deh,” kata lelaki kurus berbaju kumal dan dekil, tapi kentara sekali keramahan dan ketulusannya membantu sesama.
Setelah satu jam berlalu dan aku menyadari kesia-siaan menanti, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Keajaiban pun terjadi, kondisi anakku mulai membaik dan semakin membaik. Terbukti dari keringat yang mengucur deras, kencing berkali-kali yang kutampung dalam kantong kresek. Kemudian kulihat wajahnya mulai kemerahan, gerak-geriknya tampak ringan.
“Mama…. kita mau ambil honor nih?”
Ya Rob, terima kasih, akhirnya dia mulai lagi cerewet!
“Iya Nak, kita akan ambil honor Mama…. Banyak loh nanti uangnya,” sahutku menahan keharuan yang buncah.
“Banyak, ya…, kira-kira nanti bisa buat beli buku cerita?”
Masih bocah sudah kecanduan baca.
“Bisa, tentu saja bisa sekali…. Makanya, doakan saja biar mereka mau kasih honor Mama itu semuanya….”
“Iya deh, Etan pasti mau doain!” ujarnya seraya menengadahkan kedua tangan, menunduk dengan mulut komat-kamit.
Ya Allah, anak sekecil ini begitu paham dengan kesulitan emaknya. Bokek!
Tak pernah kusangka, perkataannya itu ternyata dia buktikan dengan tindakan. Begitu kami sampai di kantor redaksi, Jalan Kebon Kacang, dia langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Tanpa bisa kucegah lagi, dia kemudian duduk bersila, tepat di pintu bagian keuangan!
“Bismillahirrohmanirrohiiiiim…”
Surat Al Fatihah pun mengalir dengan fasih dari mulutnya. Usai itu dilanjutkan dengan surat Al Ikhlas.
Ya Tuhan, apa yang dilakukan anakku? Kelakuannya sungguh mengingatkanku kepada santri yang suka berkeliling kampung, meminta sumbangan dari warga.
Dalam hitungan menit para karyawan dari semua ruangan telah berkumpul, kemudian mengerumuni kami berdua. Tak tahan hatiku melihat pemandangan yang mengenaskan itu, kuhampiri anakku dan membangunkannya.
“Pssst, sudah Nak, honornya sebentar lagi dapat kok. Sudah, ya,” bujukku.
Tanpa kuduga pula seketika dia berteriak sambil berjingkrak-jingkrak, menggemaskan sekali.
“Horeeee! Honornya udah dapat! Makasih, makasih, makasiiiih… Ya Alloooooh…”
Bapak Syamsuddin Lubis biasanya akan mengajaknya masuk ke ruangannya. Memberinya banyak cokelat dan makanan kaleng, oleh-oleh dari Singapura atau Malaysia. Dia memanggilnya dengan sebutan; Ucok.
“Kenapa Etan dipanggil Ucok, Ma?” tanyanya, ketika kami telah meninggalkan kantor redaksi itu menuju Pasaraya Sarinah.
“Mmm…” Tentu saja aku harus berterus-terang tentang asal-usulnya, pikirku.
“Ya, Ma?” desaknya kulihat matanya ingin tahu.
“Yah, karena ayahmu itu orang Batak bermarga Siregar. Biasanya anak laki-laki Batak itu suka dipanggil Ucok,” sahutku.
“Mmm… gitu, ya Ma… Emang bapak Etan di mana, Ma?”
“Iya… eh, kan lagi kerja di Jakarta…”
“Ini di mana kita, Ma?”
“Jakarta….”
“Naaah…, ayo kita ketemu bapak Etan, ya Ma, ya?”
Oooh, anakku, kamu tak tahu apa sesungguhnya yang tengah terjadi. Mulutku terkunci rapat, kupandangi wajahnya yang mulai memperlihatkan bentuk persegi. Ya Tuhan, mengapa begitu miripnya anak ini dengan ayahnya? Seumur hidupku, kurasa, keduanya takkan pernah mampu kulupakan. Bahkan meskipun segala derita harus kutanggung.
“Dengar, ya Nak Cinta,” aku membungkuk dan mengusap-usap kepalanya. “Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan ketemu bapakmu lagi….”
“Gak sekarang, ya Ma?” pintasnya sambil cengengesan.
Aku mengiyakan, menahan semesta kepedihan yang kembali meruyak kisi-kisi batinku.
“Oh… ya sudah! Sekarang mah kita jadi beli buku cerita saja, ya Ma, ya? Kan Mama udah dapat honor…”
“Boleh, boleh banget…. Ayo, pilih sana sendiri!”
“Sendiri, boleh buku apa saja Ma?” tanyanya sambil menatap wajahku, minta kepastian.
Biasanya takkan kubiarkan dia pilih buku sendiri. Bisa diborong banyak buku cerita favoritnya, beuh!
Kali ini memang berbeda.Kami berdua telah berjuang. Sejak dinihari dari Cimahi, bahkan belum sarapan dan perutku pun mulai berkeruyukan. Allah Swt sangat Maha Pengasih. Aku mendapatkan honor satu juta. Ini 1984, sungguh jumlah yang sangat besar dan banyak manfaatnya.
Sosoknya yang imut-imut itu segera melesat ke rak buku begitu kepalaku mengangguk. Aku geleng-geleng kepala nyaris tak memercayai, rasanya belum lama dia panas, dingin dan menggigil silih berganti dalam pelukanku.
Alhamdulillah, terima kasih, ya Robb, gumamku dalam hati, tiada henti mengucap rasa bersyukur.