# Catatan Cinta Ibu dan Anak
Jakarta, 14 Januari 2013
Setelah heboh-hebohan urusan jaminan kesehatan orang tak
mampu, mengantri berjam-jam, dan berujung rasa lapar yang menggigit, akhirnya
santai dululah, yaouw!
Kafe Olala Bistro, bagian dari Kencana, swastanya RSCM
yang tentunya takkan mampu kuinapi mengingat biayanya selangit. Namun, bila
hanya untuk beli makan siang bolehlah kita menikmatinya.
Iseng kuambil ponsel, me-WhatsApp putriku, Butet.
"Nak! Sambil menunggu hasil lab, makan dulu nih:
soto bogor, enaaak!"
“Bawain, mauuu!” balasnya.
“Yeeeh, siapa yang nawarin?”
“Deuh, Mama….” Ada emoticon guling-gulingan.
“Pssst, di seberang Mama ada aki-aki keren euy, harum
semerbak pula. Dokter kayaknya, lagi jelasin urusan mata, mungkin pasien
istimewa. Mata pasiennya sipit, kulitnya kuning begitulah.”
“Bener si aki-aki itu dokter?”
“Yeeeh, gak tahu atuh, sepertinya begitu!”
"Jiaaah! Tebak-tebak manggis!”
“Hehehe, iya kali, bisa saja Profesor pakarnya mata
lulusan Jerman….”
"Hiiiiih, deketiiiin Mom! PDKT! Hayooo!"
"Jiaaah, apaan sih, gak sopan!"
"Mom, buruan pamer sana!”
“Pameran buku kali, ya!”
“Jiaaah! Bilang, pamerin saja; Mama thaller tertua
sedunia gitu, gih!”
"Ngacooow, ah!"
"Ngacooow, ah!"
“Mama pasti; Bisa!”
“Yeeeh, apaan sih makin koclak saja!”
"Mom, pliiiis, pe-de-ka-te!”
"Ini wilayah kekuasaannya, tauk! Gak pede, ah! Coba kalau di TIM, itu wilayah seniman, hehehe...."
"Halah! Butet nembak si Aa pas di tengah-tengah wilayah kekuasaannya. Hihi! Mama pasti: Bisaaa!"
Busyeet deh nih anak, kalau sudah kumat ngocolnya!
Kusuap terus hidangan di depan mata. Benar, enak sekali
soto bogor yang satu ini. Pantas saja harganya lumayan. Satu paket soto bogor,
nasi, emping dan segelas es lemon tea, harus kukeluarkan sejumlah; 72 ribu.
Tidak mengapa, sekali-sekali memanjakan awak, pikirku.
Kasihan juga badan ringkih ini telah banyak sengsara sejak Agustus silam. Tidak
punya rumah, numpang sana-sini, akhirnya kulakoni nyaris tanpa mengeluh.
“Pilihan hidup yang paling tepat, Mom,” begitu kata Butet
waktu kusampaikan keputusan untuk meninggalkan rumah di Depok.
“Semoga….”
“Jangan bilang semoga,” tukasnya sambil merengkuh bahuku,
memeluk erat-erat.”Harus yakin, kali ini terakhir kalinya, jangan sampai
seperti yang lalu-lalu. Mama maafkan lagi, mama balik lagi. Janji, ya Mom?”
Aku mengangguk dan mengucap janji dalam hati. Ya,
semuanya memang harus diakhiri. Biarlah dia, lelaki itu dengan segala
karakternya, nafsu syahwatnya; mencari perempuan sehat, lebih muda dan cantik.
“Kamu ini sudah tua, semakin penyakitan dan banyak
meninggalkan rumah,” terngiang kembali pernyataannya malam itu.”Jadi, tahu diri
sajalah. Kalau masih mau tingal di sini, tidak mengapa, sampai aku punya istri
lagi. Setelah itu, ya, terserahmu juga. Mau tinggal di sini bersama kami; kerja
sama….”
Rumah sekecil itu yang kamar mandinya pun hanya satu.
Untuk kerjasama apa, dan demi apa?
“Palingan Mama dijadikan babu mereka!” ketus sulungku
yang paling tak sudi mendengar dalih apapun dari bapaknya. Mengapa harus
menikah lagi dalam umur menjelang lansia?
“Intinya, dia hanya memikirkan syahwat melulu!”
Ah, anak-anak telah lama bisa berpikir dewasa, gumamku.
Sesungguhnya, jika mau jujur, hatiku sangat luka harus menerima kenyataan ini.
Dia meletakkan posisinya sebagai korban.
Lihat saja dalam status-statusnya di akun FB atasnamanya
itu!
“Istriku selalu bepergian. Tak pernah mau mengurusiku!”
“Ini perbedaan yang sangat prinsip. Kami tidak bisa
disatukan lagi!”
“Lagipula, aku tak ada rasa, apalagi cinta. Aku harus
mempunyai seorang istri yang baik, tidak pernah jauh-jauh dariku, selalu berada
di rumah. Tidak merengek belanja ini dan itu. Istri yang solehah dan akan
membawaku kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Hanya kematian yang akan
memisahkan kami….”
“Dasar aki-aki bau tanah kubur, tak tahu diri dan super
gombal!” demikian komentar seorang pembaca yang mengenalinya sebagai (waktu
menulis status tersebut) suamiku, belum resmi cerai.
“Teteh, aku sudah baca Dalam Semesta Cinta. Awalnya,
kupikir itu hanya imaji penulisnya saja. Ternyata itu memang kisah nyata, ya
Teteh sayang. Sungguh langka perempuan setangguh dan sesabarmu, Teteh sayang.
Tetap ikhlas, kuat, istiqomah, ya; mhuuuuaaa!” tulisnya via inbox, ketika
kusapa dia dan memintanya agar tidak memaki-maki lelaki itu.
“Moooom, gimana sudah pe-de-ka-te sama si dokter keren?”
Butet mengingatkanku, menyadarkan keberadaanku saat ini. Masih di Olala,
makanan sudah habis, demikian pula minumannya tandas.
“Pssst, barusan Mama menguping. Katanya, temannya ada
yang salah operasi. Seharusnya melaser mata sebelah kiri, tetapi malah mata
kanan yang dilaser….”
“Woaaaaaa! Gelo tuh dokter, geloooo!”
“Dia juga cerita, 60 persen pasien yang masuk kamar
operasi tidak sukses alias game-over!”
“Untung, Mama termasuk yang 40 persennya, ya. Sudah,
begitu saja? Mama cuma jadi penguping di situ?”
“Pssst, dia lagi teleponan. Katanya, iya aku di Olala,
gak ke atas. Pake jas abu-abu, oh, kamu di mana? Oke, aku ke situ!”
“Teruuuus?”
“Hmmm, dia keluar, sepertinya menemui seorang cewek. Eh,
sesama dokter, pake baju dokter. Waduuuh, itu kan, dokter Aulia….”
“Dokter Mama itu, ya?”
“Iya!”
“Dokter Aulia yang ditinggal pergi suaminya….”
“Iya, yang skizoprenia itu!”
“Kasihan, ya, kenapa banyak perempuan baik bersuamikan
lelaki model si Papa sih?
“Husy!”
“Mama, nanti pulangnya mau dijemput?”
“Gaklah, paling sebentar lagi dipanggil. Sudah, ya,
hati-hati bawa mobilnya. Sun sayang buat si dedenya, mhuuuua!”
Dan kami pun berpisah untuk melakoni keseharian
masing-masing. Kulihgat sekilas sosok itu, sekarang sudah berdua. Benar, itu
dokter Aulia Ratih, internis sebaya denganku.
Semoga dokter mata, entah siapa namanya itu, berjumpa
dokjer Aulia dalam suasana menyenangkan. Bukan suami orang alias sama
posisinya dengan dokterku sayang. (Jakarta, Pipiet Senja)