Jumat, 08 Maret 2013

Berdua Anakku Menjajakan Naskah




Anno, 1984

Hari demi hari kulakoni takdirku berdua anakku semata wayang, sebagai seorang ibu, seorang janda, seorang penulis, single parent… Telah banyak air mata tertumpah, maka tak ingin lagi kubuang waktu percuma!

Berdua anakku, aku akan mengetuk satu demi satu kantor redaksi, menjajakan karya-karyaku berupa; cerpen, artikel, cerita bersambung dan novelet. Minimal dua kali dalam sebulan, aku melakukan aktivitas serupa itu. Melahirkan karya-karyaku di pavilyun, kemudian menjajakannya ke berbagai media di Bandung dan Jakarta.

Suatu kali telah kupersiapkan keberangkatan ke Jakarta untuk mengantar naskah, sekalian mengambil honor di beberapa kantor redaksi. Saat ini anakku berumur dua setengah tahun, sudah kumasukkan ke sebuah playgroup. Dia mulai bisa membaca meski terbata-bata, menghapal lusinan lagu, dan beberapa surah pendek serta doa singkat.

Di TK Yakap Jaya, Haekal mengembangkan kecerdasan dan kemandiriannya lebih menonjol jika dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Dia bahkan melampaui tingkat kecerdasan anak-anak yang lebih tua dua-tiga tahun. Terbukti dari wawasan pengetahuan yang dimilikinya jauh di atas rata-rata dengan IQ 131.

Dia mudah sekali menghafal berbagai cerita yang pernah kukisahkan setiap malam. Kemudian dia akan menceritakannya kembali dengan bahasanya sendiri, ditambah rekaannya pula. Dia bisa menjawab dengan cepat perkalian 2, 5, 10 dan perkalian angka yang sama umpamanya; 25 X 25, 35 X 35, 45 X 45, 55 X 55 dsbnya.

Dia juga hafal sebagian besar cerita pewayangan, Asterix, Deni Manusia Ikan dan mitologi Yunani.

“Bagaimana Teteh, jadi berangkat sekarang?” bertanya adikku Ed yang selalu perhatian.

“Kelihatannya dia demam…”

Dia memandangi wajah anakku yang memang tampak memias.

Sejak sore memang demamnya tidak turun-turun, meskipun aku telah memberinya obat penurun panas. Aku mengangkat tubuhnya yang telah kubalut baju hangat, kaus kaki tebal dan penutup kepala.

“Yaaah… maunya sih kutinggal, tapi malah nanti merepotkan kalian,” kesahku, mengingat di rumah hanya ada empat adik dan seorang nenek.

Kedua orang tuaku tinggal di rumah adikku En di Cibubur. Sebab bapak masih dinas di Kodam Jaya.

Kutahu bapak sedang mengalami kesulitan keuangan, seorang adik kuliah, dua di SMA, dua lagi di SMP. Kutahu pula En telah banyak membantu, bahkan berkorban demi keluarga.

Maka, sedapat mungkin aku jangan pula ikut menambah beban orang tua.

“Ayo sini, dijampe dulu sama Um Ed, ya,” hibur adikku sambil menggendong si kecil.

Kubiarkan dia menenangkan anakku, sekaligus membantuku menyiapkan susunya.

Adikku Ed seorang aktivis Rohis, pengurus remaja masjid Agung dan mushola di belakang rumah kami.Setelah sholat tahajud, aku pun minta diantar Ed ke jalan raya Tagog untuk mencegat bis ke Jakarta. Ed membawakan keranjang berisi bundelan naskah, yang berbaur dengan baju salin dan susu anakku.

Kugendong dan kupeluk erat-erat anakku sambil membisikkan semangat di telinganya.“Kita akan ke Jakarta, Nak. Sehat, ya Nak sayang, jangan keterusan sakit. Kita akan mencari nafkah untuk makan besok, lusa, lusa, lusa dan lusanya lagi… Pokoknya kita harus semangaaaat!”

Niscaya tiupan semangatku kali ini kacau-balau!

Kulihat wajah anakku menjadi tenang setelah kuminumi sebotol susu. Sesungguhnya hatiku kebat-kebit, diliputi kebimbangan dan was-was. Persediaan susunya tinggal sedikit, hanya untuk satu kali minum lagi. Demikian pula aku tak memiliki obat lagi untuk menurunkan demamnya.

Kondisi keuanganku sungguh pailit, bahkan untuk ongkos pun aku terpaksa harus meminjamnya dari nenekku. Simpananku terkuras untuk pengobatanku beberapa bulan sebelumnya. Akibat terlambat ditransfusi kondisiku menjadi parah, malah terjadi komplikasi. Karena tak ada Askes lagi, maka aku harus menanggung seluruh biaya pengobatan secara mandiri.

“Baiklah, kita berangkat sekarang… lahaola wala quwwatta ila billahi aliyyul adzim,” gumamku saat kami meninggalkan rumah.

Kuredam segala keresahan, kusingkirkan semua kekhawatiran itu jauh-jauh. Tak mungkin kuurungkan lagi, mustahil pula menanti terus bantuan dari orang tua.Tidak, memang harus mencarinya sendiri!

“Nah, itu bisnya, Teteh, hati-hati ya… Jangan lupa banyak zikir dan berdoa,” pesan adikku Ed, menghentikan bis dan menyerahkan keranjang bawaanku kepada kernet.

“Iya, jaga adik-adik dan Emih,” sahutku. Emih adalah nenek kami dari pihak bapak.

Pukul dua dinihari, sekilas kucermati di dalam bis itu hanya diriku yang berjenis kelamin perempuan. Selebihnya kaum laki-laki, sebagian besar tengah menghisap rokoknya dengan nikmat. Dalam sekejap saja anakku langsung terbatuk-batuk hebat!

Aku segera disibukkan dalam upaya menenangkan anakku, bahkan sebelum sempurna posisi duduk kami. Aku memberinya minum, menggosok dada dan punggungnya dengan minyak kayu putih.

“Mama, apa… Etan bakal mati abak ebek, kayak bapak Etan, ya Ma?” ujar anakku tiba-tiba sesaat batuknya berhenti.

Untuk beberapa jenak mulutku bagaikan mengejang, lidahku mendadak kelu.

Di bawah cahaya lampu jalanan yang menyelinap melalui jendela, dan jatuh ke wajah anakku dalam pangkuanku di bangku barisan belakang. Aku pandangi lekat-lekat wajah mungil yang telah menjadi korban egoisme dan kezaliman bapaknya itu.

Selama perpisahan tak sepeser pun yang pernah dikirimkan bapaknya kepada anak ini. Luar biasa!

“Tidak, aku tidak melihat pertanda kematian, tidaaaak!” jeritku dalam hati dan otak yang nyaris mendadak gila.

“Mama… jangan nangis, Etan gak mau nanya apa-apa lagi. Etan janji, Mama, sudah ya…. Ceppp, ceeep,” suara kecil itu di telingaku bagaikan sayatan sembilu, memedihkan kalbu.

Tanganku refleks menghapus butiran bening yang sempat membuncah deras tanpa kusadari. Kurasai pula jari-jemari halus ikut merayapi pipi-pipiku, menghapus segala resah, seluruh dukalara yang menyungkup hati.

“Dengarlah, Nak, Cinta,” bisikku selang kemudian di telinganya. “Mama pastikan, kita akan baik-baik saja dalam perjalanan ini… Tuhan beserta para malaikat-Nya akan memelihara kita, insya Allah!”

Anakku tersenyum senang, walaupun suhu badannya masih panas. Namun, kutahu dia kemudian tertidur lelap dalam pelukanku. Mujurlah, kami mendapatkan bangku kosong di sebelah, jadi aku bisa membaringkan anakku dengan leluasa.

Pukul tujuh pagi kami tiba di terminal Cililitan, kuperiksa keadaan anakku masih tetap seperti saat kami berangkat. Demamnya malah semakin tinggi, aura panas begitu menyengat dari sekujur tubuhnya. Dan dia mulai terdiam, segala keriangan, semua kecerewetannya yang senantiasa menjadi pengobar semangat hidupku itu.

Duh, kemanakah gerangan ceriamu, Anakku, jangan diam saja, jeritku membatin sambil menahan tangis.

“Minum, haus, minum, Ma…,” rengeknya tiba-tiba, membuyarkan semesta kepedihan yang melingkupi kisi-kisi hatiku.

“Baik, ini minumlah yang banyak, ya Nak…,” kuberikan botol susunya, hanya sekali minum lagi.

Dia meminumnya sampai tandas, jantungku serasa berdebur kencang. Uang yang ada di tangan tinggal untuk minum air putih dan sekali ongkos ke kantor redaksi Selecta.

“Habis Ma…. Etan gak mau minum lagi. Nanti Mama nangis, susah deh…. Etan mau bobo aja, ya Ma…,” ceracaunya, mungkin mengigau tapi masih mencemaskan ibunya.

Aku menggendongnya erat-erat sambil menenteng keranjang berisi naskah. Biasanya anakku tak mau digendong sebab dia tahu bahwa ibunya penyakitan, dan limpanya membengkak.

Menyadari ketakberdayaannya dan kepapaan diriku, ada ketakutan yang meruyak batinku.

Ah, jangan pernah menyerah!

Maka kunaiki sebuah mikrolet jurusan Senen, dari situ aku akan mencari kendaraan jurusan Tanah Abang, ke kantor redaksi Selecta Group tujuan utamaku.

Sesungguhnya membawa anakku dalam keadaan sakit bukan yang pertama kalinya. Setahun sebelumnya pun kugendong-gendong dia dalam kondisi muntaber. Sempat kejang-kejang, metromininya dibakar massa.

“Saat itu juga kita berhasil selamat kan, Nak,” gumamku di telinganya. “Sekarang pun kita harus selamat. Sabar, ya Nak, sebentar lagi kita akan sampai di kantor sahabat-sahabat Mama.”

Rasa terbakar kemudian meruap dari sekujur tubuh anakku, tatkala kami turun di sebuah halte kawasan Senen. Sempoyongan kugendong anakku menuju warung. Kuminta obat penurun panas, tapi pemilik warung bilang tidak ada. Beberapa jenak otakku berusaha keras untuk mengambil tindakan penjagaan demi keselamatan anakku.

Maka kukitarkan pandanganku ke sekeliling kami. Di mana ini? Tiba-tiba aku baru menyadari keberadaan kami. Oh, Tuhan, bukankah ini di halte seberang kantor ayah anakku? Ya, itulah Departemen tempatnya bekerja!

“Bu, Ibu…. Maaf, ganggu sebentar, bisakah saya minta tolong?” tanyaku agak panik kepada seorang ibu berseragam, mengingatkanku akan seragam ayah anakku.

Ibu paro baya itu berhenti dan memandangiku, kemudian dia melirik anak yang kugendong dengan mimik terganggu.

“Ada apa? Kamu siapa?” tanyanya ketus.

“Mmm, begini Bu…, Ayah anak saya ini pegawai di Departemen yang sama dengan Ibu, saya yakin begitu. Bisakah Ibu bantu saya….”

Tiba-tiba aku tak tahu mau minta bantuan apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh lelaki itu? Lelaki yang selalu menghina, mengasari, melecehkan kehormatan diriku selama menjadi istrinya? Tahu-tahu dia sendiri bermain-main dengan berbagai perempuan nakal saat istrinya sakit, dan sama sekali tidak perlu mengakui itu sebagai suatu kekhilafan? Bahkan ditudingnya diriku sebagai penyebab tindakan zalimnya itu?

“Cepetaaan… mau ngapain sama suami kamu itu?” tanyanya pula semakin ketus dan tidak sabaran.

“Eee, dia bukan suami saya…, mantan…, tapi jelas dia ayah anak ini,” sahutku tergagap dan kian panik demi menyadari anakku seperti tak berkutik lagi?

Ada seleret senyum sinis di bibir perempuan itu. “Aha, bilang dari tadi kalau kamu cuma jandanya!”

“Iyyaa… sebetulnya…”

Kutelan segala luka yang menghunjam dada.

“Demi anakku…. Demi Tuhan, apapun rela kulakukan!” pikirku sambil menggemeretakkan gerahamku.

Aku pun tergesa-gesa mencari secarik kertas di antara bundelan naskah, kemudian kutuliskan pesanku. Intinya meminta keikhlasan lelaki itu agar datang ke halte, ikut membantu kesulitan yang tengah kuhadapi.

Kuserahkan kertas agak kumal itu kepada rekan kerja ayah anakku, kuyakin demikian.

“Ya sudah, tunggu saja di sini! Gak janji bisa bantu loh…”

Seharusnya kumaknai kalimatnya itu sebagai suatu penolakan. Namun, entah mengapa otakku mendadak buntu, maka bagaikan orang dungu kunantikan bantuan itu tiba sambil memeluk erat-erat tubuh anakku.

“Minum…. Etan mau minum lagi, Ma…,” ringik anakku berulang kali.

Aku pun berkali-kali bangkit, meninggalkannya sejenak, membelikannya air putih.

Menyadari betapa bolak-baliknya diriku membelikan minuman, pemilik warung itu tergerak hatinya. Dihampirinya kami sambil membawakan seteko air putih, dan sebuah cangkir plastik.

“Kenapa? Anaknya sakit, ya Neng?” tanyanya dengan kesungguhan dan penuh perhatian.

“Eee…, iya Bang, demam….” Kurasai benteng pertahanan di sudut-sudut mata ini nyaris jebol.

“Demam begini memang kudu banyak minum, Neng. Ya sudah, jangan dibayar, minum saja sepuasnya, Neng…. Nih, kalau kurang bilang aja lagi, ya Neng. Moga-moga cepet baekan deh,” kata lelaki kurus berbaju kumal dan dekil, tapi kentara sekali keramahan dan ketulusannya membantu sesama.

Setelah satu jam berlalu dan aku menyadari kesia-siaan menanti, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Keajaiban pun terjadi, kondisi anakku mulai membaik dan semakin membaik. Terbukti dari keringat yang mengucur deras, kencing berkali-kali yang kutampung dalam kantong kresek. Kemudian kulihat wajahnya mulai kemerahan, gerak-geriknya tampak ringan.

“Mama…. kita mau ambil honor nih?”

Ya Rob, terima kasih, akhirnya dia mulai lagi cerewet!

“Iya Nak, kita akan ambil honor Mama…. Banyak loh nanti uangnya,” sahutku menahan keharuan yang buncah.

“Banyak, ya…, kira-kira nanti bisa buat beli buku cerita?”

Masih bocah sudah kecanduan baca.

“Bisa, tentu saja bisa sekali…. Makanya, doakan saja biar mereka mau kasih honor Mama itu semuanya….”

“Iya deh, Etan pasti mau doain!” ujarnya seraya menengadahkan kedua tangan, menunduk dengan mulut komat-kamit.

Ya Allah, anak sekecil ini begitu paham dengan kesulitan emaknya. Bokek!

Tak pernah kusangka, perkataannya itu ternyata dia buktikan dengan tindakan. Begitu kami sampai di kantor redaksi, Jalan Kebon Kacang, dia langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Tanpa bisa kucegah lagi, dia kemudian duduk bersila, tepat di pintu bagian keuangan!

“Bismillahirrohmanirrohiiiiim…”

Surat Al Fatihah pun mengalir dengan fasih dari mulutnya. Usai itu dilanjutkan dengan surat Al Ikhlas.

Ya Tuhan, apa yang dilakukan anakku? Kelakuannya sungguh mengingatkanku kepada santri yang suka berkeliling kampung, meminta sumbangan dari warga.

Dalam hitungan menit para karyawan dari semua ruangan telah berkumpul, kemudian mengerumuni kami berdua. Tak tahan hatiku melihat pemandangan yang mengenaskan itu, kuhampiri anakku dan membangunkannya.

“Pssst, sudah Nak, honornya sebentar lagi dapat kok. Sudah, ya,” bujukku.

Tanpa kuduga pula seketika dia berteriak sambil berjingkrak-jingkrak, menggemaskan sekali.

“Horeeee! Honornya udah dapat! Makasih, makasih, makasiiiih… Ya Alloooooh…”

Bapak Syamsuddin Lubis biasanya akan mengajaknya masuk ke ruangannya. Memberinya banyak cokelat dan makanan kaleng, oleh-oleh dari Singapura atau Malaysia. Dia memanggilnya dengan sebutan; Ucok.

“Kenapa Etan dipanggil Ucok, Ma?” tanyanya, ketika kami telah meninggalkan kantor redaksi itu menuju Pasaraya Sarinah.

“Mmm…” Tentu saja aku harus berterus-terang tentang asal-usulnya, pikirku.

“Ya, Ma?” desaknya kulihat matanya ingin tahu.

“Yah, karena ayahmu itu orang Batak bermarga Siregar. Biasanya anak laki-laki Batak itu suka dipanggil Ucok,” sahutku.

“Mmm… gitu, ya Ma… Emang bapak Etan di mana, Ma?”

“Iya… eh, kan lagi kerja di Jakarta…”

“Ini di mana kita, Ma?”

“Jakarta….”

“Naaah…, ayo kita ketemu bapak Etan, ya Ma, ya?”

Oooh, anakku, kamu tak tahu apa sesungguhnya yang tengah terjadi. Mulutku terkunci rapat, kupandangi wajahnya yang mulai memperlihatkan bentuk persegi. Ya Tuhan, mengapa begitu miripnya anak ini dengan ayahnya? Seumur hidupku, kurasa, keduanya takkan pernah mampu kulupakan.  Bahkan meskipun segala derita harus kutanggung.

“Dengar, ya Nak Cinta,” aku membungkuk dan mengusap-usap kepalanya. “Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan ketemu bapakmu lagi….”

“Gak sekarang, ya Ma?” pintasnya sambil cengengesan.

Aku mengiyakan, menahan semesta kepedihan yang kembali meruyak kisi-kisi batinku.

“Oh… ya sudah! Sekarang mah kita jadi beli buku cerita saja, ya Ma, ya? Kan Mama udah dapat honor…”

“Boleh, boleh banget…. Ayo, pilih sana sendiri!”

“Sendiri, boleh buku apa saja Ma?” tanyanya sambil menatap wajahku, minta kepastian.

Biasanya takkan kubiarkan dia pilih buku sendiri. Bisa diborong banyak buku cerita favoritnya, beuh!

Kali ini memang berbeda.Kami berdua telah berjuang. Sejak dinihari dari Cimahi, bahkan belum sarapan dan perutku pun mulai berkeruyukan. Allah Swt sangat Maha Pengasih. Aku mendapatkan honor satu juta. Ini 1984, sungguh jumlah yang sangat besar dan banyak manfaatnya.

Sosoknya yang imut-imut itu segera melesat ke rak buku begitu kepalaku mengangguk. Aku geleng-geleng kepala nyaris tak memercayai, rasanya belum lama dia panas, dingin dan menggigil silih berganti dalam pelukanku.

Alhamdulillah, terima kasih, ya Robb, gumamku dalam hati, tiada henti mengucap rasa bersyukur.

Membuang Harga Diri Demi Sebungkus Nasi Rames Untuk Anak


Ilustrasi: Sekarang sudah punya anak sebesar ini, cucuku: Zein

Anno, Jakarta, 1985
Masa ini aku menjalani takdirku sebagai seorang janda dengan satu anak, yakni, putraku Haekal Siregar. Kami tinggal di sebuah rumah petak milik keluarga besar ulama pendiri pesantren Al-Ma'ruf, Cibubur.
Suatu malam di musim hujan, pukul dua dinihari, tiba-tiba air masuk dari lubang-lubang (baru kusadari keberadaannya) di tembok yang menghalangi kamar dengan rumah sebelah. Aku tersentak karena anakku sudah terbangun lebih dulu, kemudian mengguncang-guncang tanganku.
“Mama, kata orang ada banjir,” bisiknya dengan sorot mata ingin tahu dan penasaran.
Samar-samar memang kudengar suara gaduh di luar. Agaknya sungai kecil di belakang kompleks perumahan sewa ini meluap. Aku meloncat dari dipan bertingkat, gegas kunaikkan jagoan kecilku itu ke bagian atas, dan aku berpesan wanti-wanti kepadanya.
“Diam-diam di sini, ya Nak, Cinta.”
“Mama mau ke mana?”
“Mama mau lihat keadaan sebenarnya.”
Tapi akhirnya aku tak sempat lagi melihat-lihat, karena air bagaikan bah menerobos masuk, dalam hitungan menit pun sudah melewati paha. Kuselamatkan barang-barang kami yang tak seberapa. Sesungguhnya yang berharga hanya mesin ketik, baju, sedikit makanan kering dan buku-buku.
“Mama, itu si Mot Monyet! Duh, basah, kasihan!” seru Haekal menunjuk-nunjuk buku favoritnya, serial Mot Monyet yang sudah mengambang di atas permukaan air.
Aku memungut dan memberikannya sambil kubujuk bahwa buku favoritnya pasti bisa diselamatkan. “Kita akan menjemurnya kalau hari sudah terang.”
“Iya, Ma, terimakasih,” gumamnya seraya memandangi gambar Mot Monyet yang mendelong kosong ke arahnya.
Aku memalingkan wajah dan mulai berpikir keras untuk sebuah penyelamatan, tanpa harus membekaskan luka dalam jiwanya. Sementara di luar hujan semakin deras, air kian meluap memasuki rumah petak kami.
Lahaola walla quwwata ila billahi aliyyul adziiim…”
Maka kusingsingkan lengan baju dan mulai berjibaku.
“Hujan datang, hujan datang, banjirnya. Tuhan, jangan lama-lama hujannya. Jangan lama-lama banjirnya, kasihani Mama, kasihani Ekal, kasihani kami, duaan!” celoteh anakku.
Sementara aku berjibaku menyiuki air, membuangnya ke luar rumah, anakku terus berseru-seru menyemangatiku. Kadang aku mendatanginya, mengingatkan agar tidak berisik, kemudian kubuatkan perahu-perahu dari kertas. Dia mempermainkannya dari atas ranjang tingkat dua itu dengan sapu lidi sebagai pengaitnya.
Dua jam berlalu sudah, hujan masih turun bahkan semakin deras, dan air tetaplah bergeming. Keringat, peluh, banjir dan airmata mulai mengaduk-aduk perasaanku. Inilah saat-saat paling sengsara yang belum pernah kami alami.
Ketakutanku sesungguhnya lebih disebabkan sebuah tanggung jawab yang harus kupikul, demi menyelamatkan nyawa kami berdua. Aku harus jujur, sesungguhnya aku merasa takut sekali tak sanggup menunaikan amanah yang telah diberikan Sang Pencipta di pundakku ini; Anak!
Pikiranku serasa buntu dan membeku. Lelah lahir, lelah batin, kupandangi wajah mungil yng kini tampak kelelahn pula. Sepasang matanya balik menatap sayu ke arahku, tapi mulutnya sudah berhenti mengoceh sejak beberapa saat berselang.
“Sudah ya Ma, sini, kita doa saja,” ajaknya tiba-tiba.
Di situlah, di atas ranjang besi bertingkat, pemberian Emak, kami mengisi waktu menjelang subuh. Aku memeluk tubuh kecil sambil mulutku tak putus berzikir dan berdoa. Seminggu hujan turun terus-menerus, air bagaikan dicurahkan dari langit. Banjir di mana-mana, meluap di kawasan perkampungan belakang kompleks perguruan Islam milik ulama besar itu. Berkali-kali air datang di malam hari, kemudian surut menjelang siang.
Acapkali kami berdua sama sekali tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah air masuk, atau menyiukinya saat banjir datang. Paling kami hanya memandangi pemandangan ajaib itu dari ranjang bertingkat selama berjam-jam, tak jarang harus menahan rasa haus dan lapar hingga air surut kembali.
Suatu petang yang terbebas dari hujan, saat kami sudah kehabisan bekal, tak ada makanan kering, tak ada beras sebutir pun. Kocek pun kosong sama sekali!
“Mama, gak punya uang lagi, ya?” usik anakku
Sepanjang hari itu hanya kuberi semangkuk bubur pemberian tetangga, dan beberapa potong kue basah.
“Iya, Nak. Baru besok pagi kita bisa ke kantor redaksi mengambil honor,” sahutku sambil berpikir keras, bagaimana mendapatkan makanan untuk mengganjal perutnya malam ini.
“Kenapa besok?”
“Ya, naskahnya belum jadi nih.”
Tidak, bukan itu alasannya. Aku tak punya ongkos!
“Oh,” kesahnya mengambang di antara genangan air di bawah kami. Kutahu dia mulai tersiksa dengan bunyi lagu keroncong yang setiap saat diperdengarkan oleh perut kami.
Aku kembali melanjutkan menulis cerita bersambung sambil menekan rasa bersalah yang meruyak. Kulihat sepintas makhluk kecil itu mulai mencari-cari sesuatu untuk melampiaskan pikiran dan perasaannya. Ya, kutahu persis demikian kebiasaannya!
Benar saja, begitu dia berhasil menemukan buku Mot Monyet dan robot-robotan Megaloman, maka dengan cekatan tangannya memainkan si robot.
“Alkisah di zaman sekarang, si Mega lagi musim kebanjiran, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Bibirku niscaya mengerimut menahan senyum.
“Emak si Mega lagi sibuk kerja, bikin cerita biar bisa dijual, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Bibirku niscaya kian bergetaran, menahan geli.
“Uangnya nanti bakal beli makanan anaknya, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Ah, anak ini bisa saja kalau sudah menghibur ibunya, pikirku. Jari-jemariku semakin sibuk ngebut menulis. Tinggal satu bab lagi dan akhirnya selesai sudah!
“Aduh, si Mega sekarang lagi kelaparan, jrek-jrek jrek jrek, duuuh, duuuh…”
“Soalnya berhari-hari cuma makan bubur… jrek-jrek jrek-jrek… mmm, mmm…”
Dadaku mulai berdebar, tapi kutahankan untuk tidak terpengaruh. Jari-jemariku, pikiran dan perasaanku masih berkutat pada ending cerita tentang sebuah keluarga yang berbahagia. Semua novelku berakhir bahagia, demikian kuputuskan pada masa-masa diriku sendiri sarat diterjang kesulitan. Harus bahagia, karena hidup dan perikehidupan adalah harapan!
Ya Robb, kuatkan anakku, jeritku mengawang langit. 
“Adduuh… Tuhan… Ekal kepingin makan. Tuhan, boleh tahu, di mana makanannya?”
Aku masih melanjutkan menulis, tapi tak ada suara apapun lagi dari sebelahku. Kuhentikan berjibaku dengan si Denok, kulirik dalang jejadianku tersayang yang telah membuat ibunya merasa geli.
Ya Allah, ada apa dengan anakku?
Anak itu, buah hatiku tercinta, belahan jiwaku tampak menekuk kedua lututnya, memeluk robotnya erat-erat, sedang buku Mot Monyet sudah terlepas dari tangannya, mengambang di permukaan air yang menggenang di bawah kami. Astaghfirullah!
“Naaak! Cintaaa, maafkan Mama, ya, maafkan Mama!” kuraih dan kupeluk tubuh mungil yang sudah tak tahan rasa laparnya itu erat-erat.
Ada gigilan yang aneh mengalir dari tubuhnya. Ya Tuhan, jangan, jangan biarkan anakku sakit. Jangan saat-saat begini, jangaaan!
Benteng pertahananku pun jebol sudah, air bening meluap dari sudut-sudut mataku. Seolah-olah ingin menyaingi air banjir yang telah menggenangi tempat mukim kami selama berhari-hari.
“Mari, Nak, kita pergi dari sini!”
“Ke mana kita, Ma?” lirihnya lemah saat kugendong dia dengan segala kekuatan yang masih kumiliki. Tak peduli kusibak air sebatas lutut yang telah membuatku merasa terhalang untuk mencari nafkah lebih keras lagi.
“Pssst, diamlah, Sayang. Kita berdoa, kita akan cari makanan,” bisikku di telinganya.
“Siiip!” serunya mengagetkan. “Turunkan Ekal, Ma, nanti limpa Mama sakit lagi,” pintanya pula serius sekali.
Berjalan kaki menembus tanah becek yang tiada terkira, kuperas otakku sedemikian rupa. Bagaimana caranya mendapatkan makanan untuk anakku? Beranikah menggedor rumah adikku En malam-malam begini? Dia yang telah mengusir kami dari rumahnya, hanya karena terucap niatanku untuk rujuk dengan ayah anakku?
Tidak, tidak bisa begitu! Harus kubuktikan bahwa aku mampu mandiri!
Nah, ada warung nasi, tapi dari mana uangnya?
“Tunggu dulu di sini sebentar, ya Nak,” kulepaskan genggaman tangannya beberapa meter dari warung nasi itu.
Tanpa banyak tanya, ini pengecualian, biasanya sangat cerewet, dia mengangguk, membiarkanku berlalu. Maka, kulempar segala perasaan malu, kudatangi pemilik warung nasi.
“Ibu, maaf, bisa minta tolong ya Bu?”
Perempuan paro baya bertubuh subur itu memandangiku. Apakah dia masih mengenaliku? Ada beberapa kali aku membeli makanan ke sini.
“Ya, ada apa?” tanyanya, menatapku keheranan.
“Saya butuh makanan, sebungkus nasi rames, ya Bu. Tapi bayarnya besok, ya Bu, boleh?”
“Oh?”
Tidak, kutekan terus rasa malu itu, mumpung tak ada siapapun selain Ibu Warung.
“Ibu kan kenal saya yang nyewa di rumah Ustad Fahri. Nah, ini, kalau tidak percaya… mmm, saya jaminkan KTP ini, ya Bu.”
“Oalaaa… Neng, Neng, yo wis, pake jamin-jaminan KTP segala,” tukasnya sambil tersenyum ramah.
“Tapi, saya memang lagi…” Kutelan airmata yang seketika terasa asin, dan berjejalan hendak tumpah berderai dari sudut-sudut mataku.
Monggo, mau apa saja. Jangan sungkan-sungkan, Neng.”
Begitu sayang Gusti Allah kepada kami, kataku dalam hati. Maka, kujinjing dua bungkus nasi rames lengkap dengan lauknya; ayam goreng dan perkedel.
“Makanannya dapat, ya Ma?” sambut anakku sambil menatap kantong kresek di tanganku lekat-lekat.
Aku mengangguk dengan mata membasah.
“Horeee! Asyiiik!” serunya berjingkrak kegirangan.
“Pssst, Alhamdulillah,” kataku mengingatkannya, kuajak dia menengadahkan kedua tangan ke atas. Langit bening, kini tanpa aling-aling. Kurasa besok mulai cerah. Bumi dan langit menjadi saksi, bagaimana ibu dan anak ini, malam ini begitu bersyukur.
Tuhan tidak pernah meninggalkan kami, aku yakinkan itu.
Kami bergandengan tangan kembali ke rumah petak, masih terendam oleh air sungai yang meluap ke mana-mana.
Malam itulah aku memutuskan untuk menyerahkan kembali anakku kepada bapaknya, termasuk diriku. Meskipun harus menanggung nestapa selama puluhan tahun kemudian, disebabkan kecurigaan membuta, paranoid yang sudah berurat dan berakar dalam jiwanya.
@@@


Selasa, 05 Maret 2013

Hatta Lelaki Itu Sampah: Hanya Satu Cinta Sejati



Prolog
Ini adalah surat cintanya putriku, Butet untuk bayi dalam kandungannya alias calon cucuku yang telah diberinya sebuah nama; Artemis Zikaranasya. Saya si Manini ingin sekali menitip kenangan untuk nama tengahnya; Aisha. Entah diterima atau tidak, mengingat si Butet ini termasuk sok mawa karep sorangan tea. Hihi. 
Pokoknya mah, kumaha alusna we, nya, Manini ukur sambung doa. Semoga Butet dan bayi dalam kandungannya sehat, normal dan melahirkan pada saatnya yang tepat. Tidak terlalu menyakitkan, sebagaimana dulu, 23 tahun yang silam, Mama melahirkan dirimu, Adzimattinur Karibun Nuraini Siregar.
Sok atuh, geura sing lungsur langsar, nya geulis, utun inji, mhuuuaaah!
@@@






Dear anak kesayangan seluruh dunia, Artemis Zikaranasya. 
Aku memutuskan menulis surat ini di usia 22 tahun, jauh sebelum menjadi tua dan bungkuk, karena aku tidak yakin mendengarkan wanita tua yang suka mengomel-ngomel.
Di usia muda ini, aku akan menulis sebanyak-banyaknya surat, berisi pandanganku tentang hidup, hingga panduan yang aku tahu toh takkan kau turuti juga. 
Seorang penulis besar dunia pernah berkata, kita bisa mendapatkan nasehat dari film, cerita orang tua, dongeng, hingga buku-buku hebat.
Namun sudah sifat manusia untuk keras kepala dan harus melakukan kesalahan sendiri untuk belajar.
Aku berkewajiban untuk melindungimu dari arus kebodohan yang sama. Aku hanya berharap surat-suratku ini bisa menghindarkanmu dari luka-luka yang tak perlu.
Cukuplah kau lihat dari luka perjalananku. Jangan lakukan kebodohan yang sama, karena cuma itu yang membedakan kita dengan kuda.
Kali ini aku hendak bicara tentang cinta. Ah lihat, kau sudah mendengus. Aku membayangkan wajah remajamu hanya terkikik geli dinasehati oleh “Si Mama” yang seringkali galak ini.
Kuberitahu satu hal: jangan percaya film dan musik-musik murahan itu. Cinta hanya ada satu kali. Berhati-hatilah memilih orang yang kau cintai. Apa? Aku bisa mendengar pekikan protesmu.
Tentu kau akan protes, karena kau gadis yang cerdas dan bebas. Mana ada cinta hanya satu kali? Cinta bisa berkali-kali, Mama! Lagipula, mana mungkin kita bisa memilih hendak jatuh cinta pada siapa?
Kau akan berbalik menasehatiku, karena tentunya kau mewarisi sifat sok tahuku. 
Sayangnya, itulah yang benar-benar terjadi. Kau akan jatuh cinta, pertama dan satu-satunya. Seseorang akan mendobrak pintu hatimu dan mengobrak-abrikkannya seenak hati dia.
Lalu hanya akan ada satu dari dua hal yang ditinggalkannya: kenangan manis atau kenangan buruk. Keduanya sama-sama mengerikan.
Mereka tidak akan pernah lepas dari ingatanmu, dari hatimu, dari setiap helaan napas yang kau ambil. Kenangan itu akan muncul di setiap kilasan lagu yang membuatmu teringat akan cinta pertama dan satu-satunya itu.
Muncul di kilasan wajah yang kupikir adalah dia. Muncul di sesakkan napas yang telanjur kau ambil karena memandang punggung yang mirip dengan punggungnya, atau hirupan parfum yang tercium seperti wangi tubuhnya.
Kau hanya bisa jatuh cinta satu kali. semua orang pun begitu. Setelah satu kali itu, bila kisahmu tidak sukses, maka kau akan mencari-cari orang lain yang akan mengisi kekosongan yang ia tinggalkan.
Tapi kau akan terus dihantui kenangan bersama cinta pertama dan satu-satunya itu. Kau akan mati-matian berusaha mencintai orang lain, namun hatimu sudah tak disitu lagi.
Sudah kau titipkan di bawah kaki pria itu. Entah tersimpan, entah terinjak. Keduanya pilihan dia. Satu hal yang pasti: kau akan selalu merindukan sensasi cinta pertama yang takkan pernah terlupakan. Karena itu, turutilah ucapan ibumu ini, berhati-hatilah dalam memilih cinta pertama. 
Pada prinsipnya, semua pria itu bajingan keparat tanpa hati. Itu yang sudah pasti. kau hanya perlu mencari pria yang belum terekspos dunia sehingga dia “belum” jadi bajingan dan masih berhati lembut seperti Papamu.
Pria yang sampai di usia ke-21 masih belum punya pacar dan sibuk dengan urusan sekolah, organisasi, bola, dll. Itu yang biasanya bisa dipercaya. Ingat, jangan mau dengan pria yang pernah berpacaran. Layaknya mobil, perawatan mobil bekas lebih mahal dan merepotkan ketimbang mobil baru.
Sialnya, berlian seperti itu jauh tertumpuk di dalam gundukan sampah. Banyak sampah yang berkilauan layaknya berlian. Banyak pria tampan yang pura-pura polos dan kesepian di luar sana. Jangan sampai terkecoh, sampah adalah sampah. Mereka akan menampakkan aslinya kalau kau memperhatikan dengan amat sangat teliti. 
Kau mungkin akan bertanya-tanya, kenapa aku begitu keji pada kaum pria? Karena seperti itulah mereka seharusnya diperlakukan. Kumohon, berhati-hatilah dengan hati. Berhati-hatilah dengan cinta. Aku mencintaimu, as always. (Zhizhii Siregar, sedang bumil jalan 8 bulan)

Senin, 04 Maret 2013

Penanganan Pasien Thalassemia Secara Baik


Penanganan Pasien Thalassaemia Secara Baik [Oleh : Dr.dr. Pustika Amalia, Sp. A (K), sumber: http://www.thalassaemia-yti.net/penanganan-pasien-thalassaemia-secara-baik]

1. Kadar Hb sebelum transfusi idealnya 9-10 g/dL. Hal ini bertujuan tumbuh kembang seorang anak tetap normal (dalam artian mencegah anak menjadi lebih hitam, pendek, perut membuncit). Tetapi hal ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan di negara kita karena persediaan darah yang tidak mencukup dan faktor lainnya. Untuk itu di Indonesia kadar Hb sebelum transfusi minimal 8 g/dL. Pada kadar Hb 8 g/dL tubuh belum banyak melakukan kompensasi terhadap keadaan anemia (kurang darah) sehingga diharapkan tumbuh kembang seorang anak thalassemia masih sama seperti anak normal lainnya.

2. Pada prinsipnya dengan memberikan transfusi darah, kita menambah volume cairan ke dalam tubuh.Jika terlalu banyak dan terlalu cepat maka akan menjadi beban berat bagi jantung. Hal yang perlu diperhatikan adalah: Jika kadar Hb sebelum transfusi > 5 g/dL, dapat diberikan 10-15 mL/kg BB/hari dalam sehari, tetapi jika Hb awal ≤ 5 g/dL maka transfusi pertama hanya boleh diberikan sebanyak 5 x BB pasien saat itu (misal BB 20 kg), maka jumlah darah yang diberikan hanya sebanyak 5 x 20 = 100 mL saja.

Jarak antara transfusi pertama ke transfusi berikutnya minimal 8 jam. Ingat bahwa makin rendah kadar Hb awal, makin lambat tetesan darah yang masuk karena jika terlalu cepat akan membebani jantung.

3. Pemberian obat kelasi besi. Pada prinsipnya:a. Kelasi besi diberikan saat kadar feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali, atau sudah menerima darah sebanyak 3 liter.b. Setiap pasien dapat memilih kelasi besi yang aman dan cocok untuk dirinya sendiri.c. Obat yang paling lama diketahui aman adalah deferioksamin/desferal®, hanya saja kepatuhannya kurang karena harus disuntikkan setiap hari.

3.1 Deferioksamin/Desferal®,
Dosis: Anak ≤ 3 tahun: 15-20 mg/kgBB/hari, anak > 3 tahun: 40-60 mg/kgBB/hari. Jika terdapat gangguan jantung, dosis diberikan 100 mg/kgBB/hari. Cara pemberian: Di bawah kulit (subkutan) menggunakan pompa khusus selama 8-12 jam/hari, 5-7x/minggu. Jika dengan kelainan jantung, Deferioksamin diberikan dengan dosis 60-100 mg/kgBB/hari, secara infus selama 24 jam berturut-turut, setiap hari. Jika didapatkan kadar feritin serum yang cukup tinggi, Deferioksamin dapat diberikan kombinasi dengan Deferipron/Ferriprox® dosis 75-100 mg/kgBB/hari selama 6-12 bulan.

Efek samping:
- Sakit dan kemerahan pada tempat penyuntikan, tetapi dapat diatasi dengan menggunakan anti sakit yang dioles (EMLA salep , Xylocain salep)- Pada dosis > 100 mg/kg BB/hari, walaupun sangat jarang dapat muncul gangguan penglihatan dan pendengaran. Tetapi hal ini dapat hilang dengan menurunkan dosis atau menghentikan obat.

Anjuran dan yang perlu diperhatikan:
- Pemakaian obat ini harus minimal 8 jam, tidak boleh kurang. Makin lama pemakaian obat akan makin baik (maksimal 12 jam). 
- Jika tidak ada alat pompa dapat diberikan lewat infus, dengan waktu yang sama (pasien harus dirawat). 
- Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung tidak dianjurkan untuk memberikan vitamin C.
- Saat pasien sedang mengalami infeksi sebaiknya obat kelasi besi dihentikan.
- Jika obat yang diberikan tidak cukup/sesuai dengan dosis yang ideal, maka yang dikurangi adalah dosis setiap kali pemberian, BUKAN frekuensi pemberian. Artinya jika kebutuhannya adalah 80 vial/bulan (4 vial / hari), sementara obat hanya didapatkan 40 vial/bulan dan hanya cukup untuk 10 hari. Oleh karenanya disiasati memakai 2 vial/hari, agar tetap dapat memakai obat 20 hari/bulan.

3.2 Deferipron/Ferriprox®

Dosis: 75-100 mg/kg BB/hari. Bentuk kaplet @ 500 mg.Cara pemberian: dibagi 3 dosis, diminum setiap 6 jam sekali, dan sebaiknya diberikan bersamaan saat makan, atau sesudah makan untuk mengurangi efek samping, seperti mual. Obat ini dapat dibuat puyer, hanya saja rasanya agak pahit, tetapi dapat dicampur madu atau pemanis.

Efek samping:
- Mual dan muntah: Diatasi dengan pemberian obat bersamaan atau sesudah makan (jangan perut kosong), atau diberikan obat ranitidin sebelumnya.
- Nyeri sendi: Sangat jarang, tetapi jika muncul dosis obat dapat dikurangi, mulai 50 mg/kgBB/hari dan dinaikkan perlahan ke dosis semula.
- Kadar leukosit segmen/sel darah putih (tipe segmenter) rendah: Untuk 3 bulan pertama sebaiknya melakukan pemeriksaan darah tepi setiap 10-14 hari sekali. Jika didapatkan kadar leukosit tipe segmenter < 1.500, maka obat harus dihentilkan dulu, sampai nilainya kembali normal, baru dimulai kembali.
- Meningkatnya kadar SGPT.

Anjuran dan yang perlu diperhatikan:
- Jika saat minum obat anak mengalami infeksi/sakit seperti demam, batuk, pilek, diare dan sebagainya, sebaiknya obat dihentikan sementara sampai infeksi teratasi.
- Jika efek samping tetap muncul, obat dapat dimulai dengan dosis rendah, yaitu 50 mg/kgBB/hari, atau diberikan bersamaan dengan Desferal®, karena ternyata kombinasi kedua obat ini dapat mengurangi efek samping.
- Oleh karena obat ini dibuang melalui urin/kencing (sehingga warnanya akan coklat kemerahan), dan dimetabolisme di hati, maka lakukan pemeriksaan SGOT, SGPT, ureum, dan kreatinin setiap 3 bulan sekali. Jika memungkinan bersamaan dengan pemeriksaan kadar feritin.
- Pada kasus berat (gangguan fungsi organ terutama jantung, atau kadar feritin serum > 5.000 ng/mL), sebaiknya diberikan kombinasi dengan Deferioksamin untuk jangka waktu tertentu.

3.3 DEFERASIROKS/EXJADE®

Dosis: 20-40 mg/kg BB/hari, berbentuk tablet mudah larut.Satu tablet: @ 125, 250, dan 500 mgCara pemberian: dosis tunggal, dimasukan ke dalam air, atau jus. Tanpa ada rasa.

Efek samping:
 - Mual dan muntah. Cara penanganannya sama dengan Ferriprox®,
- Gangguan fungsi ginjal atau hati: Lakukan pemeriksaan ureum, kreatinin, SGOT, dan SGPT 1x/bulan.
- Kemerahan pada kulit.

Pemilihan dan reaksi obat kelasi besi ini sangat bergantung dari masing-masing pasien, tidak dapat disamaratakan,Yang terpenting adalah: MEMAKAI OBAT KELASI BESI SECARA TERATUR DAN MONITORING EFEK SAMPING DARI OBAT YANG DIGUNAKAN KARENA REAKSI OBAT BERGANTUNG DARI MASING-MASING PASIEN.