Selasa, 15 Januari 2013

Masihkah Ada Cinta di Matamu, Kekasih








# Catatan Cinta Ibu dan Anak
Jakarta, 14 Januari 2013

Setelah heboh-hebohan urusan jaminan kesehatan orang tak mampu, mengantri berjam-jam, dan berujung rasa lapar yang menggigit, akhirnya santai dululah, yaouw!

Kafe Olala Bistro, bagian dari Kencana, swastanya RSCM yang tentunya takkan mampu kuinapi mengingat biayanya selangit. Namun, bila hanya untuk beli makan siang bolehlah kita menikmatinya.

Iseng kuambil ponsel, me-WhatsApp putriku, Butet.
"Nak! Sambil menunggu hasil lab, makan dulu nih: soto bogor, enaaak!"
“Bawain, mauuu!” balasnya.
“Yeeeh, siapa yang nawarin?”

“Deuh, Mama….” Ada emoticon guling-gulingan.
“Pssst, di seberang Mama ada aki-aki keren euy, harum semerbak pula. Dokter kayaknya, lagi jelasin urusan mata, mungkin pasien istimewa. Mata pasiennya sipit, kulitnya kuning begitulah.”

“Bener si aki-aki itu dokter?”
“Yeeeh, gak tahu atuh, sepertinya begitu!”
"Jiaaah! Tebak-tebak manggis!”

“Hehehe, iya kali, bisa saja Profesor pakarnya mata lulusan Jerman….”
"Hiiiiih, deketiiiin Mom! PDKT! Hayooo!"
"Jiaaah, apaan sih, gak sopan!"
"Mom, buruan pamer sana!”
“Pameran buku kali, ya!”

“Jiaaah! Bilang, pamerin saja; Mama thaller tertua sedunia gitu, gih!”
"Ngacooow, ah!"
“Mama pasti; Bisa!”
“Yeeeh, apaan sih makin koclak saja!”
"Mom, pliiiis, pe-de-ka-te!”

"Ini wilayah kekuasaannya, tauk! Gak pede, ah! Coba kalau di TIM, itu wilayah seniman, hehehe...."
"Halah! Butet nembak si Aa pas di tengah-tengah wilayah kekuasaannya. Hihi! Mama pasti: Bisaaa!"

Busyeet deh nih anak, kalau sudah kumat ngocolnya!
Kusuap terus hidangan di depan mata. Benar, enak sekali soto bogor yang satu ini. Pantas saja harganya lumayan. Satu paket soto bogor, nasi, emping dan segelas es lemon tea, harus kukeluarkan sejumlah; 72 ribu.

Tidak mengapa, sekali-sekali memanjakan awak, pikirku. Kasihan juga badan ringkih ini telah banyak sengsara sejak Agustus silam. Tidak punya rumah, numpang sana-sini, akhirnya kulakoni nyaris tanpa mengeluh.

“Pilihan hidup yang paling tepat, Mom,” begitu kata Butet waktu kusampaikan keputusan untuk meninggalkan rumah di Depok.
“Semoga….”

“Jangan bilang semoga,” tukasnya sambil merengkuh bahuku, memeluk erat-erat.”Harus yakin, kali ini terakhir kalinya, jangan sampai seperti yang lalu-lalu. Mama maafkan lagi, mama balik lagi. Janji, ya Mom?”

Aku mengangguk dan mengucap janji dalam hati. Ya, semuanya memang harus diakhiri. Biarlah dia, lelaki itu dengan segala karakternya, nafsu syahwatnya; mencari perempuan sehat, lebih muda dan cantik.

“Kamu ini sudah tua, semakin penyakitan dan banyak meninggalkan rumah,” terngiang kembali pernyataannya malam itu.”Jadi, tahu diri sajalah. Kalau masih mau tingal di sini, tidak mengapa, sampai aku punya istri lagi. Setelah itu, ya, terserahmu juga. Mau tinggal di sini bersama kami; kerja sama….”

Rumah sekecil itu yang kamar mandinya pun hanya satu. Untuk kerjasama apa, dan demi apa?

“Palingan Mama dijadikan babu mereka!” ketus sulungku yang paling tak sudi mendengar dalih apapun dari bapaknya. Mengapa harus menikah lagi dalam umur menjelang lansia?

“Intinya, dia hanya memikirkan syahwat melulu!”

Ah, anak-anak telah lama bisa berpikir dewasa, gumamku. Sesungguhnya, jika mau jujur, hatiku sangat luka harus menerima kenyataan ini. Dia meletakkan posisinya sebagai korban.

Lihat saja dalam status-statusnya di akun FB atasnamanya itu!
“Istriku selalu bepergian. Tak pernah mau mengurusiku!”
“Ini perbedaan yang sangat prinsip. Kami tidak bisa disatukan lagi!”

“Lagipula, aku tak ada rasa, apalagi cinta. Aku harus mempunyai seorang istri yang baik, tidak pernah jauh-jauh dariku, selalu berada di rumah. Tidak merengek belanja ini dan itu. Istri yang solehah dan akan membawaku kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Hanya kematian yang akan memisahkan kami….”

“Dasar aki-aki bau tanah kubur, tak tahu diri dan super gombal!” demikian komentar seorang pembaca yang mengenalinya sebagai (waktu menulis status tersebut) suamiku, belum resmi cerai.

“Teteh, aku sudah baca Dalam Semesta Cinta. Awalnya, kupikir itu hanya imaji penulisnya saja. Ternyata itu memang kisah nyata, ya Teteh sayang. Sungguh langka perempuan setangguh dan sesabarmu, Teteh sayang. Tetap ikhlas, kuat, istiqomah, ya; mhuuuuaaa!” tulisnya via inbox, ketika kusapa dia dan memintanya agar tidak memaki-maki lelaki itu.

“Moooom, gimana sudah pe-de-ka-te sama si dokter keren?” Butet mengingatkanku, menyadarkan keberadaanku saat ini. Masih di Olala, makanan sudah habis, demikian pula minumannya tandas.

“Pssst, barusan Mama menguping. Katanya, temannya ada yang salah operasi. Seharusnya melaser mata sebelah kiri, tetapi malah mata kanan yang dilaser….”

“Woaaaaaa! Gelo tuh dokter, geloooo!”
“Dia juga cerita, 60 persen pasien yang masuk kamar operasi tidak sukses alias game-over!”

“Untung, Mama termasuk yang 40 persennya, ya. Sudah, begitu saja? Mama cuma jadi penguping di situ?”

“Pssst, dia lagi teleponan. Katanya, iya aku di Olala, gak ke atas. Pake jas abu-abu, oh, kamu di mana? Oke, aku ke situ!”
“Teruuuus?”

“Hmmm, dia keluar, sepertinya menemui seorang cewek. Eh, sesama dokter, pake baju dokter. Waduuuh, itu kan, dokter Aulia….”
“Dokter Mama itu, ya?”
“Iya!”

“Dokter Aulia yang ditinggal pergi suaminya….”
“Iya, yang skizoprenia itu!”
“Kasihan, ya, kenapa banyak perempuan baik bersuamikan lelaki model si Papa sih?
“Husy!”

“Mama, nanti pulangnya mau dijemput?”
“Gaklah, paling sebentar lagi dipanggil. Sudah, ya, hati-hati bawa mobilnya. Sun sayang buat si dedenya, mhuuuua!”

Dan kami pun berpisah untuk melakoni keseharian masing-masing. Kulihgat sekilas sosok itu, sekarang sudah berdua. Benar, itu dokter Aulia Ratih, internis sebaya denganku.

Semoga dokter mata, entah siapa namanya itu, berjumpa dokjer Aulia dalam suasana menyenangkan. Bukan suami orang alias sama posisinya dengan dokterku sayang. (Jakarta, Pipiet Senja)