Rabu, 27 Juni 2012

Minggu Reporter Hari Biasa Kungyan



Anita Sri Rahayu


Hari biasa, Hong Kong;
“Assalamu’alaikum… Mbak A ya? Ketua organisasi ABC? Maaf mengganggu, saya Anita Reporter DDHK News, mau bikin laporan kegiatan organisasi ABC, boleh Mbak? Baik, terima kasih Mbak ya, waktu dan informasinya.”

Itulah deretan pertanyaan yang sering aku ajukan pada narasumber via telepon. Bukan di kantor, tapi di jalan arah pulang dari pasar. Terseok-seok, mengejar bus, dan menahan beratnya tas belanjaan berwarna kuning cerah.

Untung tidak ada yang tahu, kalau aku wawancarai mereka dengan penampilan khas “kungyan” ini. Meskipun sering dipandang aneh oleh rekan sejawat, saat di bus, kenapa cara bicaraku formal. Jelas. Kan harus sopan sama narasumber berita?

Ah, terserah pandangan orang. Yang penting niatku itu baik. Bukan salah mereka, karena tidak tahu aku reporter juga, bukan? Kecuali jika libur, aku biasa kalungkan kartu pers di leher. Tapi tidak saat ke pasar, oh, apa kata dunia?

Tugas harianku, jika waktu anak yang aku asuh sekolah, selalu ke rumah nenek di daerah Sui Wo Yuen, tetap memanfaat kan waktu senggang untuk menulis berita kegiatan BMI Hong Kong.

Tapi hari itu, sang narasumber sibuk mungkin, hingga tidak mengangkat teleponku saat masih di bus. Dia menghubungiku tepat ketika aku tiba di depan rumah nenek.

”Assalamu’aliakuuuum!” ujarku dengan lantang, pintu terbuka.

Ops! Kupandang wajah nenek dengan matanya yang menyorotku terheran-heran.
”Cosan, Popo,” sapaku, wajahku pastinya tak kalah bingung, harus menyapa yang di line telepon atau nenek.

“Aduh, Mbak Nita, masa saya dipanggil Popo?” ujar sang narasumber.
Nah, kan jadi ketuker! Nenek bingung, aku bingung, narasumber juga lebih bingung!

Ustadz bilang, “Kita harus selalu melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain.” Sama dengan niatanku saat bergabung menjadi reporter. Saat kita menulis hal yang baik dan berguna, maka itu akan menjadi amal baik bagi kita.

“Kelak saat mulut tak bisa lagi bicara, di depan pengadilan Tuhan, pena biru dan buku kecil, kamera dan komputermu yang layarnya sudah pecah ini akan memeberikan kesaksian membela dirimu,” gumamku sendiri.

Hal itu pula yang selalu memberikan energi tersendiri, saat kawan masih tertidur pulas, melakukan hal menyenangkan lainnya, aku sudah berada di lokasi kegiatan teman BMI untuk meliput.

Dari kacamata manusia mungkin itu tindakan yang sia-sia, apalagi kadang mentalku jeblok. Bayangkan saja, sudah berkorban istirahat, berusaha profesional, membagi waktu kerja dan meliput, tapi hasilnya kadang dikomplen orang.

Sedih sekali rasanya, tapi rasa sedih itu tergantikan saat aku tahu, Tuhan selalu punya buku catatan bagi setiap tindakan. Jika ingin terlihat baik di mata orang itu akan capek, tapi baik di mata Tuhan, cukup berusaha semaksimal mungkin. Cukup Allah saja pelindungku dan yang akan memberikan imbalan sebaik-baiknya.

Hari itu ada pengajian di daerah Sheung Wan, sangat jauh dari tempatku kerja. Baru ada dua orang relawan reporter waktu itu, aku dan Tati. Menyusul Mbak Lutfiana dan Rima.

Tugasku meliput di pengajian Tsim Sha Tsui yang letaknya jauh di daratan Kowloon-side. Kerangka laporan sudah aku buat, sehingga saat tiba di lokasi tinggal dokumentasi foto dan wawancara.

Sebetulnya aku lebih senang jika bisa menyimak materi dari penceramah, tapi karena butuh waktu menuju tempat berikutnya, aku harus bisa membagi waktu. Akhirnya, hanya bisa mendapat keterangan dari ketua panitia, karena hingga Zuhur tiba, tausiyah inti belum juga dimulai, aku pamit menju Tsim Sha Tsui.

Bahan laporanku cantik walau bingung dengan isi berita nantinya apa, tapi aku pegang prinsip reportase, yaitu harus jujur.

Aku tidur dengan Heyan, dan peraturan si bos tidak bisa ditawar, jika waktu tidur sudah tiba harus matikan lampu. Aku sadar tugasku untuk menjaga Heyan lebih utama ketimbang tugas edit berita, tapi  inilah yang terjadi: “Maju tak gentar meski tak dibayar.”

Aku tetap mematuhi peraturan bosku. Siang hari susah punya waktu banyak, edit berita butuh konsentrasi, terpaku pada hasil reportase.

Di kamar penuh boneka milik Heyan, aku duduk di kasur lipat tepat di bawah ranjang anak kecil itu.

“Cece, kenapa kamu belum tidur? Nanti papa marah, ayo tidur!” ajaknya .
“Kamu tidur dulu ya, Cece ada kungfo, pe-er, kalau tidak dikerjakan nanti guru Cece marah.”

Padahal editorku tidak pernah marah, aku bohong nih ceritanya, sambil menyalakan laptop yang layarnya pecah dan kini mulai bergaris hitam.

Heyan sudah terbuai dengan mimpinya, sementara aku sibuk menulis, menyalin rangkuman dari buku kecilku. Susunan kerangka laporan aku kembangkan jadi berita sempurna, dengan cahaya sinar laptop saja.

Halangan bukan alasan untuk tidak melakukan hal bagi orang lain, walau itu baru bisa aku lakukan dalam skala kecil saat ini. Ah, pahit memang mataku perih menahan cucuran air mata. Seakan terbangun dari mimpi-mimpi, di mana aku?

Apa yang sedang aku lakukan? Adakah itu bernilai di mata Tuhan? Aku hapus air mataku sebelum mengaliri pipi, cukup hatiku saja yang basah. Namun, jemariku tetap bergerak menulis garis-garis kemurahan Tuhan dalam segala keterbatasanku.

Di alinea terakhir laporan aku tulis: Acara berlanjut dengan salat Zuhur berjamaah, lalu masuk ke sesi kedua, yaitu acara inti taklim dan zikir yang disampaikan oleh KH Mustofa.

“Mbak ini yang suka jemput anak di Sui Wo Yuen, kan? Wartawan toh?” ujar panitia sebuah organisasi di Sha Tin.

Pertanyaan itu ia lontarkan penuh rasa heran, setelah aku bisa “pede” berbincang dengan Ustad yang akan mengisi acara. Bukan “pede” tanpa sebab, semata hanya menjalankan tugasku.

“Iya, ini judulnya, kalau Minggu saya Reporter Mbak, tapi hari biasa saya ini kungyan,” jawabku penuh canda.

Bukan tidak profesional, tapi karena keterbatasan waktu saja. Semoga jika jadi jurnalis sungguhan, pengalaman ini jadi bekal tersendiri bagiku, saat sulit yang penuh makna.

Tetap saja, untuk saat ini aku adalah BMI, tapi aku aku merasa banyak ilmu kehidupan yang bisa aku dapat, dan tak bisa didapat dari universitas mana pun.

Toleransi, kepekaan sosial, akhlak, tahan ujian, dan bercermin diri dari rasa mengeluh menjadi syukur pada kehendak Tuhan. Semoga lulusan kampus juga memiliki hal yang sama, sehingga bisa melahirkan aktivis dan petinggi negara yang berahlak mulia, bukan modal gelar semata. (Anita Sri Rahayu/ddhongkong.org)

Senin, 25 Juni 2012

Rumah Perempuan: Rumah Purna BMI Hong Kong


Mimpi Ini: Rumah Lansia Wahdatul Mar’ah



Hong Kong, 3 Juni 2012
Hampir sebulan sudah aku berada di negeri beton, diselang ke China dan kembali ke sarangku di kawasan Causeway Bay. Sejak masih di Jakarta, undangan sekadar lesehan untuk sharing kepenulisan telah berdatangan. 

Namun, pekan pertama aku justru tepar terkena flu berat, nyaris tidak bisa berbuat apapun kecuali rehat dan menormalisasi kondisi tubuhku yang memang semakin ringkih.
Setelah berobat dan mengkonsumsi herba China, pada pekan kedua barulah bisa bangkit kembali, dan langsung mengisi di holaqoh-holaqoh yang bermarkas di Masjid Ammar Wanchai.

Di sini pulalah jumpa dengan Mimi Jamilah Mahya, salah seorang pembina holaqoh, lulusan universitas ternama di negeri jiran. Persahabatan kami berdua langsung tercipta, lebih disebabkan merasa satu visi dan misi untuk membuat program pemberdayaan BMI HK purna.

Hari-hari kemudian, baik melalui meeting secara langsung maupun via telepon dan SMS, kami berdua bagaikan sejoli bermimpi; menguyek-uyek program yang ingin segera kami wujudkan dalam bentuk nyata.

Rumah perempuan, MW, Mahdatul Mar’ah, sebuah tempat penampungan bagi para BMI purna, bukan saja berasal dari Hong Kong melainkan juga dari negeri lainnya seperti; Malaysia, Singapura, Macau, Taiwan dan Arab Saudi.

Dari beberapa kunjungan ke Malaysia, Singapura dan Hong Kong, saya kerap menemukan sosok-sosok perempuan tangguh yang sudah tidak muda lagi. Di kelas menjahit di Singapura, saya bertemu dengan Maryam, perempuan 60 tahun.

“Masih betah tinggal di negeri Singa nih, Mbak?” tanyaku, setelah mencermati caranya memberi pelajaran menjahit kepada anak-anak BMI.

Ia bercerita sekilas tentang lakon hidupnya. Sejak umur 16 tahun telah meninggalkan kampung halaman, merantau menjadi TKI di berbagai negara.

Awalnya di Malaysia, lanjut ke Arab Saudi, Kuwait, Hong Kong, dan enam tahun terakhir di Singapura. Tiga anaknya telah dewasa dan mandiri, bahkan telah memberinya selusin cucu. Suami telah lama (menurut istilahnya) disedekahkan kepada perempuan lain.

“Bukannya betah, Teteh. Tentu saja saya mau pulang, mau banget, tapi tidak tahu harus pulang ke mana,” kesahnya terdengar pilu.

Ternyata tiga anaknya menolak keinginannya untuk pulang ke rumah mereka. Alasannya sungguh miris:”Yah, dulu waktu kami kecil, Emak juga tak pernah mengurus kami!”

Ya Allah, jeritku ikut pedih rasanya. Betapa ingin kutawarkan kepadanya, tinggal sajalah bersama saya di rumah mewahku di kampung Cikumpa. Namun, kemudian saya pikirkan kembali; di rumah saya tidak sendiri, ada anak dan mantu, lagipula belum tentu Maryam bersedia.

“Kalau ada rumah penampungan untuk perempuan lansia, bersediakah tinggal bersama saya?” tanyaku ketika akan berpisah. Seketika dia memelukku erat sekali, terasa airmatanya membasahi jilbabku.

Rumah yang ingin kami bangun di lahan bekas reruntuhan rumahku di Cimahi itu, kubayangkan berupa tempat para perempuan lansia, single parent, mereka yang sedang taubatan nasuha, sementara di bagian atas untuk anak-anak yatim penghafal Al Quran.
Kami baru bermimpi, Saudaraku!

Namun, tidak ada salahnya jika berjuang untuk mewujudkannya: Dream, Pray and Action!
Mohon dukungan dari Anda semua dan semoga akan banyak orang yang tergerak hati untuk menyemangati, menyumbang donasinya untuk: Rumah Lansia Wahdatul Mar’ah ini. Bissmillahi tawakaltu lahaola wala quwwata ilabilahi aliyul adzim. (Causeway Bay-Hong Kong)



Catatan:
Pembangunannya akan dimulai (DL) awal Ramadhan.
Sudah mengontak beberapa instansi. Belum ada reapon positif.
Kepada saudara-saudariku yang berkenan bantu, silakan, jangan tunda-tunda lagi.
Sisihkan sebagian harta Anda, bisa ditransfer melalui: Bank Syariah Mandiri  6034 9403 9716 1005

BCA: 7650311811